Logo Bloomberg Technoz

Terseretnya lagi rupiah ke jalur lemah kebanyakan karena sentimen pasar yang tersulut berbagai pernyataan bernada hawkish dari para pejabat The Fed.

Para pejabat bank sentral paling berpengaruh di AS itu masih banyak yang berpendapat kerja keras menaklukkan inflasi di negeri itu masih jauh dari selesai. Puncaknya, Powell dalam acara IMF pada Kamis pekan lalu menyatakan dengan gamblang bahwa bank sentral tidak akan ragu mengerek bunga acuan lagi bila memang diperlukan.

Jerome Powell, Ketua Bank Sentral AS (Sumber: Bloomberg)

Alhasil, aksi jual kembali marak. Imbal hasil surat utang AS, Treasury, yang sempat melandai ke kisaran 4,4% kembali melesat hingga ditutup di 4,65%. Sementara indeks dolar AS mencetak reli berturut-turut selama empat hari berturut-turut sebelum akhirnya ditutup di level lebih rendah Jumat lalu.

Asing masih jual

Walau selama periode 30 Oktober-3 November, pemodal asing menempuh reli pembelian di pasar Surat Berharga Negara (SBN), terlihat bila sentimen di pasar global kembali menggoyang selera berinvestasi pemodal asing.

Bank Indonesia (BI) melaporkan, berdasarkan data transaksi 6-9 November lalu, pemodal nonresiden mencatat posisi jual bersih senilai Rp1,27 triliun di pasar SBN, lalu jual bersih sebesar Rp1,35 triliun di pasar saham dan beli bersih Rp1,66 triliun di instrumen Sertifikat Rupiah BI (SRBI).

Total posisi asing di saham domestik mencatat posisi jual bersih senilai Rp15,97 triliun. Sementara di SBN masih mencetak posisi beli bersih Rp57,55 triliun dan di SRBI asing masih net buy Rp19,28 triliun.

Masih gamangnya risk appetite asing ini mengerem euforia penguatan rupiah. Terlebih rilis data cadangan devisa pekan lalu memperlihatkan nilai cadev merosot terkuras kebutuhan menahan stabilitas nilai tukar.

Laporan pertumbuhan Produk Domestik Bruto atau pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal III-2023 yang lebih rendah ketimbang perkiraan mayoritas ekonom juga semakin membebani pamor rupiah.

Di sisi lain, walaupun Indeks Keyakinan Konsumen Oktober kembali meningkat, ada indikasi masyarakat mengurangi pengeluaran untuk konsumsi. Pada saat yang sama, proporsi pendapatan yang digunakan untuk cicilan utang dan tabungan, tercatat meningkat.  

Ada kekhawatiran tekanan rupiah yang terus berlarut-larut akan membuat BI kembali mengerek bunga acuan di mana hal itu dapat semakin menekan daya beli masyarakat yang sudah cukup terkikis sejauh ini dengan inflasi inti sudah di bawah 2%.

Amunisi baru BI

Setelah merilis SRBI, BI kembali bermanuver untuk membantu rupiah menghadapi tekanan eksternal.

Caranya adalah dengan menambah amunisi baru sejenis dengan SRBI tapi dalam bentuk valas. Instrumen bernama Sertifikat Valas BI (SVBI) dan Sukuk Valas BI (SuVBI) akan mulai ditawarkan dalam lelang perdana pada 21 November nanti. 

Instrumen tersebut dirilis kendati SRBI sejak dilansir pertengahan September lalu tidak terlihat berdampak signifikan pada penguatan nilai tukar.

Instrumen itu diharapkan bisa menarik valas yang masih banyak parkir di bank-bank di luar negeri untuk masuk ke sistem domestik. Akan tetapi, dengan tingkat bunga diskonto jauh lebih tinggi untuk instrumen jangka pendek baru itu, ada kekhawatiran akan memicu perebutan dana alias crowding out di sistem perbankan domestik. 

Imbas terburuk, dana yang tersedot ke instrumen bertenor pendek dengan bunga menarik itu akan membuat likuiditas semakin ketat, memicu 'perang bunga' dan akhirnya menghambat penyaluran kredit yang dibutuhkan perekonomian untuk terus menggelinding.

Namun, BI menyatakan telah mengkomunikasikan kepada para bank agar tidak khawatir ihwal potensi adanya crowding out

“Tidak ada, karena 'kan kita [instrumen baru] untuk high networth investor, karena batasannya cukup besar. Jadi tidak ada crowding effect. Dari crowding out effect deposito valasnya, nasabahnya bank, itu kan ritel, kita nggak masuk ke ritel. No worry bank-bank, kita sudah jelaskan kepada bank-bank tidak ada crowding out,” kata Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Edi Susianto Edi, pekan lalu.

    (rui)

    No more pages