Rizal lantas mengungkapkan, gas sendiri merupakan komoditas yang jika telah diangkut dari mulut bumi, harus segera disalurkan untuk dikonsumsi. Jika tidak, maka akan menyebabkan pembengkakkan biaya operasional.
Dengan kata lain, kata Rizal, produksi gas harus sesuai dengan potensi serapan pasarnya.
"Jadi kalau misalkan sebuah lapangan sudah memenuhi target PoD [plan of development atau rencana pengembangan] yang sudah dipetakan, tiba-tiba ternyata yang tadinya mau ngambil gas di dalam negeri ternyata enggak siap, ya mau enggak mau mereka harus cari pembeli lain yang bisa menerima, mungkin ya mesti dari luar negeri. Itu tidak bisa dimungkiri."
Masalah LNG di Indonesia
Lebih lanjut, Rizal mengatakan bahwa salah satu yang menjadi penyebab salur gas untuk pasar domestik terbilang mahal yakni lantaran kurangnya infrastruktur yang memadai.
"Ini juga masih belum membuat operasi hulu gas itu menjadi murah. Jadi semua ujung-ujungnya bagaimana kesiapan infrastruktur kita, bagaimana kesiapan pasar domestik untuk bisa menerima gas yang kita produksikan di dalam negeri," jelasnya.
Untuk itu, kata dia, wajar jika perusahaan bakal lebih memilih ekspor ketimbang untuk memasok ke pasar domestik. "Jadi itu yang jadi dilema. Makanya saya bilang, pasar kita ini masih belum diterima karena gas kita sendiri masih mahal."
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah ekspor gas Indonesia pada 2022 sendiri mencapai 16 juta ton atau senilai US$9,82 miliar atau turun tipis dibandingkan dengan 2021 yang mencapai 17,1 juta ton.
Pada 2022, Singapura menjadi negara tujuan ekspor gas terbanyak yakni 4,90 juta ton, diikuti China yang sebanyak 3,29 juta ton.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memang memprediksi Indonesia akan surplus LNG dalam 10 tahun ke depan. Saat ini, 68% gas dikonsumsi oleh pasar domestik, sedangkan total salur gas sebanyak 5.474 billion british thermal unit per day (BBTUD).
Pada 2022, porsi gas yang disalurkan untuk kebutuhan industri hanya 29,25%, untuk ekspor LNG 21,76%, pupuk 12,58%, ekspor 10,97%, dan listrik 11,33%.
Pemerintah juga memanfaatkan gas untuk kebutuhan domestik LNG dan gas minyak cair atau liquefied petroleum gas (LPG) masing-masing sebesar 8,94% dan 1,45%. Sebagian kecil dari sisa konsumsi adalah untuk gas kota dan gas untuk bahan bakar transportasi.
Kontrak Bermasalah
Dihubungi secara terpisah, Presiden Komisioner HFX Internasional Berjangka Sutopo Widodo mengatakan pelaksanaan transaksi jual-beli LNG antara PGAS dengan Gunvor memang bermasalah sejak lama.
"Memang dari awal kontrak LNG dengan Gunvor ini sudah sedikit bermasalah dengan digantinya dua direktur PGN yang waktu itu kurang berhati-hati dalam mengambil keputusan kontrak," ujar Sutopo saat dihubungi, Jumat (10/11/2023).
Saat ini, direktur utama PGAS adalah Arief Setiawan Handoko. Dia ditunjuk oleh Menteri BUMN Erick Thohir menggantikan Haryo Yunianto dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada akhir Mei tahun ini.
Selain Haryo, Erick juga mengganti posisi Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis PGN, Heru Setiawan, yang saat ini dijabat oleh Harry Budi Sidharta. Keduanya dicopot secarra mendadak, diduga karena masalah internal di subholding Pertamina.
Setala dengan Rizal, Sutopo menilai keinginan PGAS untuk menjalin kontrak dengan Gunvor sangat lumrah lantaran ekspor LNG memang bisa lebih menguntungkan daripada memasok untuk industri di dalam negeri.
"Karena kadang suplai gas kita masih lebih banyak daripada permintaan industri dalam negeri. Hasil produksi lebihnya harus bisa langsung disalurkan lagi, jadi misalnya kebutuhan dalam negeri 67%—70%, sisa 30%-nya bisa dijual untuk ekspor."
Hingga berita ini diturunkan, PGAS tidak memberikan respons terhadap permintaan tanggapan terkait dengan pelaporan force majeure ke BEI medio pekan ini.
Adapun, berdasarkan laporan keuangan kuartal III-2023, PGAS mengalami kahar terkait dengan pelaksanaan transaksi jual beli LNG dengan Gunvor Singapore. Ternyata, kontrak ini kurang menguntungkan bagi PGAS.
Akibatnya, perusahaan perlu melakukan pencadangan untuk menutup potensi kerugian itu. Pencadangan ini dicatatkan di pos provisi atas kontrak LNG yang memberatkan pada laporan posisi keuangan konsolidasian interim tanggal 30 September 2023 sebesar US$61,27 juta dan dalam laporan laba rugi konsolidasian interim US$4,42 juta.
Itu menjadi jawaban mengapa PGAS mendadak mencatat provisi atas kontrak yang memberatkan senilai US$4,42 juta, padahal pos keuangan ini masih kosong di periode yang sama tahun lalu.
Provisi itu memberikan tekanan tambahan terhadap kinerja keuangan PGAS yang sejak awal memang hanya mencatat pendapatan usaha sebesar US$2,69 miliar (sekitar Rp42,89 triliun), atau naik tipis dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US2,64 miliar.
Perseroan juga mencatatkan beban pokok naik 6,54% secara tahunan menjadi US$2,17 miliar. Sehingga, laba kotor turun 13,84% secara tahunan menjadi US$523,04 juta.
Lalu, laba operasi turun 18,9% menjadi US$389,88 juta. Selain penurunan laba dari ventura bersama 25,99% menjadi US$49,79 juta, provisi senilai US$4,42 juta itu tadi yang turut menyebabkan laba bersih PGAS tergerus 36,07% menjadi US$198,49 juta atau setara dengan sekitar Rp3,16 triliun.
(wdh)