Bloomberg Technoz, Jakarta – Presiden Komisioner HFX Internasional Berjangka Sutopo Widodo mengatakan pelaksanaan transaksi jual-beli gas alam cair atau liquified natural gas (LNG) antara PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) dengan Gunvor Singapore Ltd memang bermasalah sejak lama.
Hal itu, sebut dia, adalah isu yang menyebabkan PGAS belakangan melaporkan force majeure atau dalam keadaan kahar ke Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 3 November 2023.
"Memang dari awal kontrak LNG dengan Gunvor ini sudah sedikit bermasalah dengan digantinya dua direktur PGN yang waktu itu kurang berhati-hati dalam mengambil keputusan kontrak," ujar Sutopo saat dihubungi, Jumat (10/11/2023).
Saat ini, direktur utama PGAS adalah Arief Setiawan Handoko. Dia ditunjuk oleh Menteri BUMN Erick Thohir menggantikan Haryo Yunianto dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada akhir Mei tahun ini.
Selain Haryo, Erick juga mengganti posisi Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis PGN, Heru Setiawan, yang saat ini dijabat oleh Harry Budi Sidharta. Keduanya dicopot secarra mendadak, diduga karena masalah internal di subholding Pertamina.
Meski demikian, kata dia, keputusan PGAS dalam melakukan ekspor LNG ke Negeri Singa sebenarnya berpotensi menguntungkan. Sebab, nilai keekonomian LNG untuk ekspor bisa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penjualan di dalam negeri.
"Karena kadang suplai gas kita masih lebih banyak daripada permintaan industri dalam negeri. Hasil produksi lebihnya harus bisa langsung disalurkan lagi, jadi misalnya kebutuhan dalam negeri 67%—70%, sisa 30%-nya bisa dijual untuk ekspor."
Hingga berita ini diturunkan, PGAS tidak memberikan respons terhadap permintaan tanggapan terkait dengan pelaporan force majeure ke BEI medio pekan ini.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memang memprediksi Indonesia akan surplus LNG dalam 10 tahun ke depan. Saat ini, 68% gas dikonsumsi oleh pasar domestik, sedangkan total salur gas sebanyak 5.474 billion british thermal unit per day (BBTUD).
Pada 2022, porsi gas yang disalurkan untuk kebutuhan industri hanya 29,25%, untuk ekspor LNG 21,76%, pupuk 12,58%, ekspor 10,97%, dan listrik 11,33%.
Pemerintah juga memanfaatkan gas untuk kebutuhan domestik LNG dan gas minyak cair atau liquefied petroleum gas (LPG) masing-masing sebesar 8,94% dan 1,45%. Sebagian kecil dari sisa konsumsi adalah untuk gas kota dan gas untuk bahan bakar transportasi.
Adapun, berdasarkan laporan keuangan kuartal III-2023, PGAS mengalami kahar terkait dengan pelaksanaan transaksi jual beli LNG dengan Gunvor Singapore Pte Ltd. Ternyata, kontrak ini kurang menguntungkan bagi PGAS.
Akibatnya, perusahaan perlu melakukan pencadangan untuk menutup potensi kerugian itu. Pencadangan ini dicatatkan di pos provisi atas kontrak LNG yang memberatkan pada laporan posisi keuangan konsolidasian interim tanggal 30 September 2023 sebesar US$61,27 juta dan dalam laporan laba rugi konsolidasian interim US$4,42 juta.
Itu menjadi jawaban mengapa PGAS mendadak mencatat provisi atas kontrak yang memberatkan senilai US$4,42 juta, padahal pos keuangan ini masih kosong di periode yang sama tahun lalu.
Provisi itu memberikan tekanan tambahan terhadap kinerja keuangan PGAS yang sejak awal memang hanya mencatat pendapatan usaha sebesar US$2,69 miliar (sekitar Rp42,89 triliun), atau naik tipis dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US2,64 miliar.
Perseroan juga mencatatkan beban pokok naik 6,54% secara tahunan menjadi US$2,17 miliar. Sehingga, laba kotor turun 13,84% secara tahunan menjadi US$523,04 juta.
Lalu, laba operasi turun 18,9% menjadi US$389,88 juta. Selain penurunan laba dari ventura bersama 25,99% menjadi US$49,79 juta, provisi senilai US$4,42 juta itu tadi yang turut menyebabkan laba bersih PGAS tergerus 36,07% menjadi US$198,49 juta atau setara dengan sekitar Rp3,16 triliun.
(wdh)