Moshe mengatakan kasus force majeure PGAS menjadi sorotan di industri migas nasional saat ini. Menurutnya, banyak kalangan yang meminta agar PGAS menjelaskan dan membuktikan mengapa kontrak dengan Gunvor tersebut membuat kerugian.
Dia pun mempertanyakan atas dasar apa PGAS, sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yang sudah go public, mengambil keputusan kontrak tersebut.
“Keputusan itu diambil dari mana? Kenapa bisa begini? Kan pasti ada sebuah studi dan kajian dahulu. Mengambil sebuah kontrak itu ada kajian keekonomiannya dahulu dong. PGAS ini beli gas juga dari lapangan [milik KKKS lain] atau punya sendiri lalu dijual lagi? Itu sebenarnya simple ya. Dia mengambil purchasing agreement kan pasti ada alasannya. Itu harus diselidiki, secara terbuka harus diungkapkan karena dia perusahaan terbuka.”
PGAS diketahui melayangkan laporan pada 3 November 2023, bahwa perusahaan sedang mengalami kondisi force majeure terkait dengan pelaksanaan transaksi jual-beli LNG dengan Gunvor.
Pemberitahuan tersebut ditujukan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 31 Tahun 2015 tentang Keterbukaan atas Informasi atau Fakta Material oleh Emiten atau Perusahaan Publik.
PGAS belum memberi respons saat dimintai konfirmasi dan keterangan lebih lanjut ihwal pelaporan tersebut.
Namun, dalam keterbukaan informasi perseroan, Sekretaris Perusahaan PGAS Rachmat Hutama mengatakan kondisi force majeure tersebut diperkirakan hingga 2024. Dia tidak mendetailkan lebih jauh penyebab keadaan kahar tersebut.
Dia hanya mengklaim sejak pelaporan tersebut, perseroan belum melihat dampak signifikan terhadap kegiatan operasional perusahaan maupun kondisi keuangan.
"Pada saat pelaporan, belum terdampak atas kejadian atas informasi fakta material tersebut terhadap kegiatan operasional perseroan," ujarnya dalam keterbukaan informasi, dikutip Rabu (8/11/2023).
Berdasarkan penjelasan dalam laporan keuangan PGAS, kontrak LNG dengan Gunvor dinilai kurang menguntungkan bagi PGAS. Akibatnya, perusahaan perlu melakukan pencadangan untuk menutup potensi kerugian itu.
Pencadangan ini dicatatkan di pos provisi atas kontrak LNG yang memberatkan pada laporan posisi keuangan konsolidasian interim pada 30 September 2023 senilai US$61,27 juta dan dalam laporan laba rugi konsolidasian interim US$4,42 juta.
Itu menjadi jawaban mengapa PGAS mendadak mencatat provisi atas kontrak yang memberatkan senilai US$4,42 juta. Pos keuangan ini, padahal, masih kosong pada periode yang sama tahun lalu.
Provisi itu memberikan tekanan tambahan terhadap kinerja keuangan PGAS yang sejak awal memang hanya mencatat pendapatan usaha sebesar US$2,69 miliar (sekitar Rp42,89 triliun), atau naik tipis dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US2,64 miliar.
Pendapatan PGAS didominasi oleh pendapatan pihak ketiga yang mencapai US$1,61 miliar, yang berasal dari perdagangan gas bumi sebesar US$1,23 miliar, penjualan minyak dan gas bumi US$244,7 juta, dan transmisi gas sebesar US$76,65 juta.
Beban pokok naik 6,54% secara tahunan menjadi US$2,17 miliar. Dengan demikian, laba kotor turun 13,84% secara tahunan menjadi US$523,04 juta.
Adapun, laba operasi turun 18,9% menjadi US$389,88 juta. Selain penurunan laba dari ventura bersama 25,99% menjadi US$49,79 juta, provisi senilai US$4,42 juta itu tadi yang turut menyebabkan laba bersih PGAS tergerus 36,07% menjadi US$198,49 juta atau setara dengan sekitar Rp3,16 triliun.
(wdh)