“Namun, pemerintah menghendaki menjadi pengendali keuangan dan operasional Vale, sehingga dibutuhkan setidaknya [tambahan porsi saham INCO sebesar] 14%. Hal tersebutlah yang menjadikan proses negosiasinya masih berlangsung hingga saat ini,” ujarnya saat dihubungi belum lama ini.
Walakin, Daymas menilai posisi tawar Indonesia sebenarnya cukup kuat jika ingin ‘memaksa’ Vale melepas minimal 14% sahamnya.
“Pemerintah sebetulnya punya positioning yang cukup krusial, karena ini terkait dengan izin yang akan dikeluarkan dan yang diperlukan adalah jaminan keandalan, serta kepastian operasional oleh MIND ID untuk dapat menjadi justifikasi sebagai pengendali Vale,” katanya.
“Tentunya apabila dengan komposisi kepemilikan sahamnya yang saat ini diajukan oleh pemerintah [sebesar 14%], sudah pasti status [Vale] akan [dinasionalisasi] seperti PT Freeport Indonesia atau PTFI.”
Jalan Terjal
Berbeda pandangan, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menilai jalan PT Mining Industry Indonesia (MIND ID) untuk menjadi pengendali Vale masih terjal, meski negosiasi divestasi saham penambang berkode saham INCO dikatakan sudah hampir final.
Ketua Umum Perhapi Rizal Kasli membenarkan, untuk bisa menjadi pengendali di Vale Indonesia, minimal saham yang harus diakuisisi holding badan usaha milik negara (BUMN) sektor pertambangan memang harus 14%.
“[Dengan demikian], MIND ID sudah menjadi [pemilik] terbesar di saham Vale,” ujarnya.
Jika progres divestasi berjalan lancar, saham MIND ID di INCO akan bertambah menjadi 34% dari sebelumnya 20%. Sebaliknya, kepemilikan Vale Canada Ltd sebagai induk INCO akan berkurang 14%, dari 43,79% menjadi 29,79%.
Memiliki tambahan porsi saham sebesar 14%, menurut Rizal, merupakan pertaruhan besar yang penting bagi posisi MIND ID. Sebab, dengan menjadi pengendali, MIND ID tentu dapat menentukan arah kebijakan INCO mulai dari produksi, penambahan smelter, serta penunjukan/penambahan direksi dan komisaris di jajaran manajemen Vale Indonesia.
Permasalahannya, kata Rizal, VCL tidak akan begitu saja menyerahkan posisinya sebagai pengendali saat ini. Terlebih, induk Vale Indonesia itu lebih berpengalaman di tingkat internasional dalam pengelolaan dan pengolahan nikel.
“Tentu saja pemegang saham mayoritas lainnya seperti Vale Group bisa melakkan lobi agar mereka tetap bisa ditunjuk sebagai pengendali perusahaan, dengan alasan mereka sudah expert di bidang pertambangan dan pengolahan nikel selama ini,” ujarnya.
Pada akhirnya, lanjut Rizal, pemerintah pun tidak bisa ikut campur dalam proses divestasi saham Vale; khususnya menyangkut harga akuisisi saham yang harus dilakukan secara business to business (B2B).
“Apabila terjadi kecocokan harga, maka deal ini bisa diterapkan. Nasionalisasi [Vale Indonesia bisa terjadi] dalam arti bahwa [kepemilikan saham] nasional sudah mayoritas di Vale,” kata Rizal.
Proses divestasi Vale merupakan salah satu syarat utama bagi Vale Indonesia. Sesuai amanat Undang-Undang No.3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), perusahaan tambang asal Kanada itu memerlukan keputusan dan kepastian pelepasan sahamnya sebesar 11% jika ingin memperpanjang syarat kontrak karya menjadi IUPK yang akan berakhir pada Desember 2025 itu.
Namun, pemerintah mengisyaratkan agar INCO mendivestasikan sahamnya sebesar 14% kepada MIND ID. Hal itu ditujukan dapat memberikan peluang holding badan usaha milik negara (BUMN) sektor pertambangan tambang itu untuk dapat menjadi pengendali INCO.
Hingga saat ini, mayoritas saham INCO masih dipegang oleh Vale Canada Limited (VCL) dengan kepemilikan 43,79% porsi saham, disusul dengan MIND ID dengan kepemilikan 20%, dan Sumitomo Metal Mining sebesar 15,03%. Adapun, kepemilikan publik pada Vale sebesar 21,18%.
(wdh)