Chief Corporate Affairs XL Axiata Marwan O. Basir saat ditemui di gedung DPR, Kamis (9/11/2023), menegaskan wacana merger usaha menjadi ranah pemegang saham. Segala hal yang terkait hal tersebut, perusahaan menjawab, “Kita nggak tahu, yang benar-benar tahu hanya pemegang saham.” ucap Marwan.
Sebagai gambaran, saham mayoritas XL Axiata dipegang oleh Axiata Investment Sdn Bhd yang berkedudukan di Malaysia. Dalam catatan Bursa Efek Indonesia (BEI), Axiata Investment menggenggam 66,2% dari total saham EXCL. Publik menjadi pemilik kedua paling besar dengan persentase 33%.
Sementara Smartfren Telecom saham mayoritas non publik dimiliki oleh PT Global Nusa Data sebanyak 23,8%, disusul PT Wahana Inti Nusantara (14,5%). Dalam laporan keuangan kuartal II-2023, Smartfren menyatakan perusahaan dan anak usaha di bawahnya menjadi bagian dari kelompok bisnis Sinarmas Grup, diwakili oleh PT Gerbang mas Tunggal Sejahtera.
Dalam sebuah kesempatan Franky Oesman Widjaja, salah satu petinggi Sinarmas Grup memberikan klarifikasi. Anak pendiri Sinarmas, Eka Tjipta Widjaja itu tidak membantah adanya rencana merger XL-Fren dan berharap aksi korporasi ini dapat berlanjut. “InsyaAllah, kita berdoa supaya yang terbaik,” jelas Franky Widjaja.
Semua Menkominfo Lempar Wacana Merger Operator Seluler Demi Efisiensi
Jauh sebelum Budi Arie menjadi menteri, setiap pejabat Menkominfo kerap menyatakan wacana konsolidasi operator seluler, lewat cara merger. Johnny Plate saat menjabat pernah menyatakan bahwa aksi merger operator seluler jadi terobosan dalam rangka mewujudkan percepatan transformasi digital dan efisiensi industri.
Merger dua perusahaan telekomunikasi, lanjut Johnny Plate melahirkan peningkatan kerja jaringan, dan ujungnya berdampak positif pada layanan kepada pelanggan. Secara teknis, akan terjadi penggabungan spektrum frekuensi yang sebelumnya terpisah.
Pernyataan Johnny Plate ini dalam konteks telah resminya merger dua operator yang sempat tertunda, Indosat Ooredoo dan Hutchison, operator seluler Tri Indonesia, menjadi PT Indosat Ooredoo Hutchison Tbk di tahun 2021.
“Kalau kita lihat, dari sisi hulu, merger dan akuisisi ini adalah untuk memastikan konektivitas nasional lebih baik agar penggelaran infrastruktur TIK lebih merata di seluruh wilayah tanah air Indonesia,” ucap dia. “Saya berharap bahwa konsolidasi yang sudah kita mulai ini diteruskan, sehingga nanti streamline industri telekomunikasi nasional kita menjadi industri yang lebih kuat.”
Pejabat Menkominfo di era pemerintahan Presiden Joko Widodo periode satu, Rudiantara pernah menyatakan hal serupa. Lewat konsolidasi maka frekuensi dapat terbagi menjadi lebih ideal.
Rudiantara menjelaskan saat jumlah operator sangat banyak maka spektrum frekuensi mengecil, berimbas pada margin operasi perusahaan. Keuangan para operator jadi korban. Dari sisi pelanggan, kualitas layanan juga turun meski faktor positif hadir karena terjadi persaingan harga demi merebut konsumen.
Pemanfaatan frekuensi publik yang efisien, lanjut Rudiantara hanya bisa terjadi saat jumlah operator seluler maksimal empat, meski secara ideal tiga perusahaan. “Apalagi kalau nanti infrastruktur sharing, itu makin berhemat. Kalau operatornya efisien, nanti margin bisa dijaga, sehingga ada alokasi reinvestasi dan kualitas layanan makin bagus,” terang Rudiantara.
Pejabat Menkominfo di era pemerintahan Presiden SBY periode kedua, Tifatul Sembiring sempat menjelaskan banyaknya operator seluler membuat bisnis menjadi tidak sehat. Apalagi kala itu terdapat tujuh operator dengan pangsa pasar sangat kecil, di antara tiga pemain pesar, Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata yang menguasai 92% total pelanggan. Pernyataan Tifatul hadir saat rencana akuisisi Axis oleh XL Axiata tahun 2013.
(wep)