Penyebabnya adalah defisit transaksi berjalan (current account) yang terlalu dalam. Transaksi berjalan menggambarkan aliran valas yang datang dari ekspor barang dan jasa. Aliran valas ini lebih berkelanjutan dibandingkan yang datang dari investasi portofolio (hot money), sehingga bisa mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.
Ketika ekonomi Indonesia tumbuh, impor juga ikut tumbuh karena industri dalam negeri belum mampu memasok seluruh kebutuhan, baik itu bahan baku, barang modal, atau barang konsumsi. Peningkatan impor membutuhkan lebih banyak valas, dan ketika banyak pihak ‘memburu’ valas maka mata uang domestik akan melemah.
Pada kuartal III-2018 defisit transaksi berjalan Tanah Air mencapai 3,72% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini adalah yang terdalam sejak kuartal II-2014.
Atas nama stabilitas rupiah, Perry Warjiyo pun bertitah. Rangkaian kenaikan suku bunga acuan dilakukan.
Pada awal 2018, BI 7 Day Reverse Repo Rate masih ada di 4,25%. Akhir tahun, posisinya sudah di 6%. Terjadi kenaikan 175 basis poin (bps) dalam setahun.
“Rapat Dewan Gubernur Bank (RDG) Indonesia pada 14-15 November 2018 memutuskan untuk menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 6%. Keputusan tersebut sebagai langkah lanjutan Bank Indonesia untuk memperkuat upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke batas yang aman,” kata Perry Warjiyo dalam konferensi pers usai RDG edisi November 2018.
Ketika suku bunga naik, maka aktivitas ekonomi akan melambat. Dengan demikian, impor juga ikut berkurang sehingga meredakan tekanan di transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah.
Keputusan BI membuahkan hasil. Defisit transaksi berjalan semakin menipis dan pada kuartal terakhir 2019 menjadi 2,6% PDB. Sebaiknya tidak usah melihat 2020, karena merupakan tahun anomali akibat pandemi virus Covid-19.
Meredanya tekanan di transaksi berjalan membuat rupiah bisa menguat. Sepanjang 2018, rata-rata nilai tukar rupiah adalah Rp 14.232,05/US$. Pada 2019, rupiah menguat dengan rata-rata kurs di Rp 14.136,57/US$.
Akan tetapi, langkah penyelamatan transaksi berjalan dan rupiah memakan tumbal. Saat suku bunga tinggi, aktivitas ekonomi meredup sehingga sulit tumbuh tinggi.
Pada 2018, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tumbuh 5,17%, lebih tinggi ketimbang pencapaian 2017 yang 5,07%. Jadi tidak heran defisit transaksi berjalan melebar, karena pertumbuhan ekonomi ini membutuhkan banyak impor.
Pada 2019, saat dampak kenaikan suku bunga acuan tahun sebelumnya terasa penuh, ekonomi Ibu Pertiwi tumbuh melambat menjadi 5,02%. Inilah harga yang harus dibayar demi menurunkan defisit transaksi berjalan dan stabilisasi rupiah.
Perry Warjiyo juga memegang amanat yang diemban BI dalam pengendalian inflasi. Begitu pandemi virus corona mereda, aktivitas masyarakat berangsur normal. Permintaan akan naik, sehingga inflasi meninggi.
Belum lagi pada Februari tahun lalu Rusia memutuskan untuk menyerang Ukraina, langkah yang disebut Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai “operasi militer khusus”. Dua negara ini adalah produsen utama sejumlah komoditas seperti minyak bumi, gas alam, gandum, dan lain sebagainya.
Perang tentu membuat produksi dan distribusi komoditas-komoditas itu terhambat. Plus, berbagai negara memberlakukan sanksi terhadap Rusia, termasuk larangan ekspor.
Hasilnya, pasokan komoditas energi dan pangan dunia berkurang sehingga harga naik. Jadi kenaikan harga terjadi pada dua sisi sekaligus, permintaan (demand pull) dan penawaran (cost push).
Di sejumlah negara, inflasi menembus rekor tertinggi dalam 40 dekade terakhir. Inflasi Indonesia juga meninggi, ke level tertinggi sejak 2014.
“Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 18-19 Januari 2023 memutuskan untuk menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 5,75%. Keputusan kenaikan suku bunga ini merupakan langkah lanjutan untuk secara front loade, pre-emptive, dan forward looking memastikan terus berlanjutnya penurunan ekspektasi inflasi dan inflasi ke depan,” jelas Perry Warjiyo dalam konferensi pers usai RDG bulan lalu.
BI mulai menaikkan suku bunga sejak Agustus 2022. Hingga Januari 2023, total kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate mencapai 225 bps.
Dampak kenaikan suku bunga acuan terasa dengan perlambatan laju inflasi. Pada Januari 2023, inflasi umum tercatat 5,28% year-on-year (yoy), terendah sejak Agustus tahun lalu.
Ke depan, tantangan Perry Warjiyo pada masa jabatan periode kedua tidak akan ringan. Iklim suku bunga tinggi masih akan bertahan. Bank Sentral Amerika Serikat (AS) kerap kali menyebut suku bunga akan bertahan di level tinggi untuk jangka waktu lebih lama (higher for longer).
Belum lagi perang di Ukraina belum menunjukkan tanda-tanda selesai dalam waktu dekat. Friksi geopolitik yang melibatkan negara-negara besar juga kian panas. Ukraina, Laut China Selatan, Timur Tengah, Semenanjung Korea, masih diliputi ketegangan.
Di dalam negeri, Indonesia akan menggelar pemilu dan pemilihan presiden tahun depan. Jokowi dipastikan tidak bisa maju lagi, sesuai amanat konstitusi. Perry akan bekerja dengan presiden baru, dengan ide-ide dan visi-misi baru.
Situasi global dan domestik akan memberikan tantangan sendiri bagi Perry. Tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa dilalui.
(aji/wep)