1. Posisi Investor Asing
Posisi investor asing paling berat di India karena obligasi rupee mengalami arus masuk besar selama 12 bulan terakhir, yang berada pada 1,3 standar deviasi di atas rata-rata lima tahun. Indonesia, Malaysia, dan Korea Selatan juga telah mengalami peningkatan kepemilikan asing dibandingkan dengan akhir 2022. Hal ini meningkatkan risiko arus keluar jika taruhan bearish pada obligasi AS muncul kembali karena kekhawatiran inflasi.
2. Spread Imbal Hasil
Valuasi yang lebih tinggi pada obligasi negara berkembang Asia terhadap obligasi AS juga mengurangi daya tariknya. Obligasi 10 tahun Filipina menawarkan spread imbal hasil atau yield sekitar 230 basis poin di atas obligasi AS tenor 10 tahun, yang merupakan satu standar deviasi di bawah rata-rata lima tahun.
Negara lainnya juga memiliki valuasi yang lebih tinggi, dengan pengukur yang sama untuk Malaysia pada 2,7 standar deviasi di bawah perbedaan suku bunga lima tahun
3. Pemintaan Lelang Lesu
Berkurangnya permintaan obligasi pada lelang juga mengindikasikan bahwa keseimbangan risiko cenderung ke yield lokal yang lebih tinggi. Rata-rata bid-to-cover untuk lelang obligasi Malaysia dan Indonesia pada bulan Oktober turun menjadi 1,97 dan 1,85 kali masing-masing, turun dari Agustus, yang sebanyak 2,11 dan 3,69 kali.
4. Bunga Acuan Lebih Tinggi dalam Waktu Lebih Lama
Kenaikan bunga acuan Bank Indonesia sebesar 25 basis poin yang mengejutkan pada Oktober dan kenaikan bunga seperempat poin di Bangko Sentral ng Pilipinas pada bulan yang sama telah meningkatkan taruhan hawkish di kawasan ini.
Meskipun tidak ada tanda-tanda bahwa bank sentral negara berkembang Asia yang lainnya akan melanjutkan pengetatan, mantra the Fed, yaitu lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama juga telah mendorong kembali ekspektasi peningkatan suku bunga di kawasan ini.
"Sangat diragukan bahwa ada bank sentral Asia yang akan menurunkan suku bunga sebelum the Fed," kata Alvin Tan, kepala strategi FX Asia di RBC Capital Markets di Singapura.
(bbn)