“Makin ke sini, kemudian harga minyak menurun kembali, karena pada saat yang sama, patron-patron lain yang menentukan harga minyak dunia itu lebih banyak berperan dibandingkan dengan perang tersebut. Termasuk di antaranya China, yang permintaannya relatif lemah dan itu memiliki peran besar terhadap harga minyak dunia,” terangnya.
Faktor lain yang lebih menentukan harga minyak saat ini, kata Faisal, adalah kepentingan Amerika Serikat (AS) untuk menjaga harga minyak dunia tidak naik. AS sendiri sedang menikmati rekor permintaan minyak light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) di tengah invetaris yang sedang tinggi.
Sebetulnya tarik-menarik harga minyak ini lebih kompleks dari sekadar persoalan supply and demand.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Muhammad Faisal
Negeri Paman Sam beranggapan harga minyak yang terlalu tinggi akan kontraproduktif dengan upaya yang dilakukan Federal Reserve untuk menekan inflasi dengan rezim moneter longgar.
Jika inflasi AS naik akibat terpantik harga minyak, tentu saja kondisi tersebut akan mendorong The Fed lebih dekat pada kebijakan menaikkan suku bunga secara agresif atau hawkish.
Ujungnya, lanjut Faisal, ekonomi dunia akan kembali terhantam dan kondisi tersebut tidak disukai oleh masyarakat Amerika sendiri.
“Makanya, sebetulnya tarik menarik harga minyak ini lebih kompleks dari sekadar persoalan supply and demand,” tegasnya.
“Namun, kalau ditanya apakah ke depan minyak akan terus mengalami penurunan? Ini juga bisa tidak bisa se-simple itu untuk disimpulkan. Walau bagaimanapun, konflik geopolitik di Timur Tengah masih berlangsung dan masih panas, yang artinya ketidakpastian itu besar.”
Dalam kaitan itu, Faisal kembali menggarisbawahi hal yang selama ini banyak dikemukakan para ekonom di seluruh dunia, yaitu; selama perang hanya terlokalisasi antara Israel dan Hamas, dampaknya terhadap kenaikan harga minyak akan minim.
Sebaliknya, jika dinamika konflik berkembang dan menyeret negara-negara yang memiliki peran ekonomi – terutama sektor energi, seperti Iran – dampaknya akan langsung terasa pada loncatan tajam harga minyak dalam waktu singkat.
“Akan tetapi, sekali lagi, itu kan bentuknya masih belum pasti. Saya melihat kemungkinannya rendah. Jadi memang walaupun ada kemungkinan harga minyak itu naik lagi, untuk sampai di atas US$100/barel kemungkinannya kecil,” tutur Faisal.
Sekadar catatan, Brent – sebagai acuan global – untuk kontrak Januari naik 0,2% menjadi US$79,72/barel pada pukul 12:00 siang ini, pukul 12:00 WIB, Kamis (9/11/2023). Adapun, WTI untuk pengapalan Desember naik 0,3% menjadi US$75,52/barel.
Meski naik tipis, harga minyak masih bergerak mendekati level terendahnya dalam tiga bulan setelah ambruk hampir 7% selama dua sesi sebelumnya, di tengah tanda-tanda prospek permintaan yang memburuk.
China, sebagai importir minyak nomor wahid dunia, mengalami penurunan margin di kilang-kilangnya yang berimbas pada pembengkakan stok minyak di dalam negeri. Hari ini, Negeri Panda mengumumkan bahwa mereka kembali terjerembap ke zona deflasi.
Di lain sisi, pasok minyak dari Timur Tengah – yang menguasai sepertiga stok minyak dunia – tidak terpengaruh, lebih dari sebulan setelah perang Israel-Hamas. Adapun, ekspor Rusia mendekati level tertinggi dalam empat bulan terakhir.
Di AS, data industri menunjukkan stok minyak mentah meningkat hampir 12 juta barel pada pekan lalu, meskipun data resmi dari Badan Informasi Energi (EIA) baru akan dirilis Rabu pekan depan.
“Kekhawatiran permintaan saat ini mendasari sentimen pasar. Data makro dari AS dan China, serta data inventaris EIA, akan menjadi kunci dalam jangka pendek untuk menilai dampak tingginya suku bunga terhadap permintaan minyak,” kata Charu Chanana, ahli strategi pasar di Saxo Capital Markets Pte kepada Bloomberg.
Tendensi bearish minyak dunia tecermin dalam selisih harga Brent, di mana premi untuk kontrak jangka pendek hampir menguap. Spread-nya saat ini adalah 15 sen, terbanting dari posisi US$1,65 pada bulan lalu.
– Dengan asistensi Sultan Ibnu Affan
(wdh)