Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Bank Indonesia (BI) berencana menerbitkan instrumen baru, yaitu Sekuritas Valas BI (SVBI) dan Sukuk Valas BI (SuVBI). Instrumen ini dikhawatirkan bisa makin menambah pasokan di pasar, sehingga mendorong crowding out effect dan menciptakan ‘perang’ suku bunga.

SVBI dan SuVBI direncanakan terbit pada 21 November mendatang. Tujuan penerbitannya adalah untuk pendalaman pasar uang (khususnya valas) dan stabilitas nilai tukar rupiah karena arus modal masuk.

Di pasar perdana, SVBI dan SuVBI hanya dapat dibeli oleh perbankan peserta operasi pasar terbuka (OPT). Di pasar sekunder, SVBI dan SuVBI dapat dipindahtangankan dan dimiliki oleh non-bank, baik lokal maupun asing. 

Minimal nominal transaksi SVBI dan SuVBI ditetapkan sebesar US$ 1 juta dengan kelipatan nominal penawaran US$ 100.000. Jadi individu dengan harta melimpah atau high net-worth individuals bisa membeli SVBI dan SuVBI.

ilustrasi dolar Amerika Serikat (Dok: Bloomberg)

Hingga saat ini, bank sentral belum memberi petunjuk soal besaran bunga SVBI dan SuVBI. Namun jika merujuk kepada instrumen valas BI sebelumnya, Term Deposit Valas Devisa Hasil Ekspor (TD Valas DHE), maka bunganya adalah di kisaran 5%.

Saat SVBI dan SuVBI bisa dibeli oleh orang-orang kaya, maka instrumen itu akan bersaing dengan instrumen yang sudah ada seperti deposito. Jika bersaing dengan deposito, maka SVBI dan SuVBI akan menang telak, jika benar bunga yang diberikan sekitar 5%.

Sebab, bunga deposito valas di perbankan nasional jauh lebih rendah dari itu. Di PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), bunga deposito valas berkisar antara 0,75-1,75%, tergantung besaran simpanan dan tenornya.

Di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), bunganya lebih kecil yaitu 0,1-0,25%. Sementara di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) diberikan bunga flat 0,2%. 

Lalu di PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), deposito valas mendapatkan bunga 1,5-2,25%.

Dana Valas Perbankan Tersedot

“Ini (SVBI dan SuVBI) bisa menarik dana valas dari perbankan. Kalau ada tawaran bunga lebih tinggi dan lebih sesuai dengan level global di 4-5%, maka high net-worth individuals itu akan pindah,” tegas Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Banana Sekuritas.

Karyawan menghitung uang dolar AS di salah satu pusat penukaran uang di Jakarta, Rabu (11/10/2023). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Bukan hanya valas, lanjut Satria, mereka yang selama ini memegang instrumen rupiah dan tertarik dengan iming-iming bunga tinggi bisa saja menjual instrumen tersebut dan melakukan konversi ke valas untuk membeli SVBI dan SuVBI. 

“Jadi misalnya ada orang kaya yang memegang ORI atau Sukuk Tabungan, itu bisa dijual di secondary market dan kemudian membeli SVBI. Target pasar SVBI jangan-jangan bisa mirip dengan ORI,” kata Satria.

Namun, bukan berarti BI harus memberi bunga rendah agar tidak terjadi crowding out effect. Sebab, kalau bunga SVBI rendah bisa-bisa peminatnya sedikit.

“Bagi BI, ini serba salah. Kalau tidak kompetitif, pelaku pasar tetap akan menempatkan valas di luar negeri. Akhirnya tidak efektif untuk menarik dana asing,” kata Satria.

Apabila dana valas perbankan tersedot ke SVBI dan SuvBI, lanjut Satria, maka kapasitas penyaluran kredit akan berkurang. Akibatnya, sektor riil juga akan merasakan dampaknya dalam bentuk keketatan kredit (credit crunch).

Meski demikian, Satria juga melihat ada sisi positif dari penerbitan SVBI dan SuVBI. Selama ini, pasar uang (terutama valas) memang dangkal, tidak banyak instrumen di dalamnya. Dangkalnya pasar uang membuat rupiah menjadi rentan mengalami gejolak, karena pihak-pihak yang membutuhkan valas selalu menyasar pasar spot akibat minimnya pilihan instrumen yang ada.

“Positifnya, itu bisa membantu pendalaman pasar. Bisa menjadi instrumen bagi fund manager untuk penempatan valas,” ujar Satria.

(aji/roy)

No more pages