Saat ini, tambah Edi, belum ada instrumen valas yang bisa diperjualbelikan atau diperdagangkan (tradable). Hanya ada instrumen penempatan oleh bank, misalnya TD Valas DHE yang tidak bisa diperdagangkan.
"Oleh karena itu, boleh dibilang pasarnya dangkal. Kecenderungan orang masuk ke spot market, yang kemudian berdampak ke nilai tukar. Fenomena ini yang mendasari BI introduce instrumenn SVBI dan SuVBI," terang Edi.
Dalam kesempatan yang sama, Depala Departemen Pengelolaan Devisa BI Rahmatullah menyebut pasar valas butuh instrumen yang likuid. SRBI yang sudah diperkenalkan sebelumnya cukup likuid sehingga patut dijadikan percontohan.
"SRBI itu rambut hitam. SVBI ini kebule-bulean, blonde," ujar Rahmatullah.
BI, demikian Rahmatullah, tidak khawatir SVBI dan SuVBI akan menyebabkan efek melimpahnya pasokan instrumen atau crowding out effect. Sebab, SVBI dan SuVBI ditujukan bagi investor berprofil tinggi, tidak sembarangan bisa masuk.
"Peserta lelang masuk minimum US$ 1 juta dan kemudian kelipatan US$ 100 ribu. Di secondary market, kelipatan US$ 100 ribu. Jadi kalau saya nggak punya duit US$ 100 ribu, nggak bisa beli. Ini untuk high network dan investor profesional," ungkap Rahmatullah.
SVBI dan SuVBI, menurut Rahmatullah, diterbitkan dalam momentum yang tepat. Saat ini, suku bunga instrumen jangka pendek lebih tinggi ketimbang yang jangka panjang. Sehingga SVBI dan SuVBI yang bertenor pendek, maksimal 12 bulan, menjadi menarik bagi pemodal.
"Investor asing tetap ingin berinvetasi di Indonesia, tetapi dalam dolar yang merupakan aset high quality. Ini bisa memancing instrumen lain dan membuat market makin dalam, pasar uang makin resilient," tuturnya.
(aji)