Logo Bloomberg Technoz


Menurut data terakhir Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), volume ekspor CPO pada Agustus mencapai 2,07 juta ton atau terpelanting 41% dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebanyak 3,51 juta ton.

"Penurunan ekspor ini lebih disebabkan oleh rendahnya produksi dan penyerapan dalam negeri yang tetap naik secara konsisten," jelas Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono.

Dengan total ekspor tersebut, nilai ekspor yang dicapai pada Agustus 2023 diperkirakan mencapai US$1,68 miliar. Angka ini berada jauh di bawah nilai ekspor Juli yang sebesar US$2,91 miliar.

Medio pekan lalu, Kementerian Perdagangan mengumumkan akan melanjutkan kebijakan DMO minyak sawit hingga 2024 guna menjaga stabilitas harga minyak goreng di dalam negeri. Kebijakan tersebut digulirkan sejak tahun lalu.

Dengan adanya DMO, produsen CPO hanya boleh mengekspor jika mereka sudah menjual produksinya ke dalam negeri dengan rasio empat kali lipat volume penjualan mereka di pasar domestik melalui skema DMO.

DMO minyak sawit sebelumnya dikritik oleh produsen minyak nabati, yang merasa tidak dilibatkan dalam proses utak-atik kebijakan tersebut oleh Kemendag. Strategi DMO, padahal, dinilai terbukti tidak ampuh menstabilkan harga minyak goreng.

Kemendag pada medio kuartal II-2023 sudah memutuskan kebijakan DMO untuk distribusi minyak goreng akan dikurangi dari 450.000 ton/bulan kembali menjadi 300.000 ton/bulan, berlaku mulai 1 Mei 2023.

Tidak hanya itu, per 1 Mei 2023 hingga saat ini, izin volume ekspor CPO dan produk turunannya kembali diturunkan dari enam kali lipat terhadap jumlah yang dijual perusahaan minyak sawit di dalam negeri  (1:6), menjadi empat kali lipat (1:4).

Grafik harga minyak kelapa sawit. (Sumber: Bloomberg)


Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mempertanyakan dasar perhitungan besaran DMO dan rasio ekspor CPO yang diputuskan Kemendag.

“Rasio [ekspor] itu enggak ada pengaruhnya. Karena apa? Pasar global [CPO] sedang lesu. Jadi poinnya apa? Mau dibikin 1:2 sekalipun sia-sia. Jadi, saya melihat seolah-olah [kebijakan] ini scientific melihat akar masalah, padahal enggak juga. Formalitas saja,” ujarnya saat dihubungi, setelah kebijakan tersebut terbit.

Sahat –yang juga Plt. Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI)– mengeklaim pemerintah tidak melibatkan peran dan rekomendasi dari pelaku industri dalam membuat rangkaian kebijakan tersebut.

“Kalau ambil keputusan, ya mbok dibicarakan dengan asosiasi ataupun pengusaha. Ini tidak. Tidak ada [diskusi dengan pelaku industri], diputuskan sepihak dan disampaikan kepada media [publik]. Jadi, kami juga enggak paham maunya mereka [Kemendag] itu apa sebetulnya,” tegasnya.

Lebih lanjut, produsen minyak goreng menilai utak-atik kebijakan DMO sejatinya tidak lagi dibutuhkan, menimbang realisasi distribusi minyak goreng dengan skema DMO sebesar 450.000 ton/bulan selama Februari—April 2023 saja terbukti gagal mencapai target.

Per Maret, misalnya, penjualan minyak goreng hanya mencapai 348.000 ton –menurut catatan GIMNI– atau jauh di bawah target 450.000 ton. Tidak hanya itu, mayoritas minyak goreng yang terserap oleh konsumen bukan jenis kemasan premium, melainkan Minyakita dan migor curah.

“Artinya masyarakat malah berpindah ke minyak goreng rakyat, padahal ditargetkan 450.000 ton. Nah, realisasi DMO pada April juga meleset, malah makin turun dari Maret. Perkiraan kami April itu hanya 333.000 ton. Jadi apa sebetulnya yang di-ego-kan pemerintah [dengan mempertahankan kebijakan DMO minyak goreng]?”

Menurut Kemendag, realisasi kebijakan DMO untuk distribusi minyak goreng di dalam negeri saat ini sudah mencapai sekitar 87% dari target.

(wdh)

No more pages