Salah satu hal highlight dalam draf tersebut adalah soal target transisi energi Indonesia di sektor ketenagalistrikan yang hanya terfokus untuk listrik dalam jaringan (on grid). Di sisi lain, target bauran EBT dipatok sebesar 44% pada 2030, naik dari target awal 34% dalam Joint Statement JETP.
Draf tersebut juga menyarankan Indonesia untuk mempercepat realisasi emisi nol bersih atau net zero emission menjadi 2050 dari target awal 2060.
Adapun, pembiayaan yang dibutuhkan RI untuk mendorong transisi energi diestimasikan mencapai US$95,9 miliar (sekitar Rp1.497,32 triliun asumsi kurs saat ini) pada 2023—2030 dan US$580,3 miliar (sekitar Rp9.060,48 triliun) pada 2023—2050.
Area Fokus Investasi
Terdapat 5 area fokus investasi atau investment focus area (IFA) JETP untuk Indonesia. Pertama, pembiayaan untuk jalur transmisi dan penyebaran jaringan sepanjang 14.000 km; dengan biaya US$19.7 miliar (sekitar Rp300 triliun) hingga 2030.
Kedua, pensiun dini PLTU batu bara dan phase out yang diatur; retrofit batu bara yang fleksibel dengan kebutuhan biaya mencapai US$1,3 miliar (sekitar Rp20 miliar) hingga 2030.
Ketiga, akselerasi energi terbarukan dispatchable dengan kapasitas 16,1 GW untuk dibangun paling lambat 2030 sebesar US$49,2 miliar (sekitar Rp600 triliun).
Keempat, akselerasi energi terbarukan variabel (VRE) dengan kapasitas 40,4 GW untuk dibangun paling lambat 2030 sebesar US$25,7 miliar (sekitar Rp390 triliun). Kelima, peningkatan rantai pasok energi terbarukan.
Menanggapi hal tersebut, Energy Technologies Research Lead di Asia dari IEEFA Putra Adhiguna menggarisbawahi bahwa pada Joint Statement JETP yang terbit November 2022, emisi dari PLTU captive tidak diperhitungkan, tetapi keputusan untuk tetap maju harus diapresiasi.
“Jaringan PLTU captive yang besar akan menjadi permasalahan sulit yang harus diselesaikan Indonesia dan pemangku kepentingan lainnya, karena definisi dari pembangkit captive berkaitan dengan aspek teknis [geografis] dan legal,” terangnya.
Selain itu, kata Putra, target agresif 44% energi terbarukan memerlukan seluruh pemangku kepentingan untuk fokus pada target langsung dan pemantauan progres 12 bulan ke depan dan tidak pada target multi dekade.
Jauh dari Tujuan
Di lain sisi, Lead Analyst di Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) Lauri Myllyvirta menyayangkan proses JETP yang menjauh dari tujuan awalnya yaitu untuk memensiunkan PLTU batu bara.
“Ada sekitar 7,4 GW yang terkoneksi di jaringan yang sudah seharusnya dipensiunkan pada 2035 dengan asumsi umur natural [30 tahun], tetapi hanya akan ada 1,6 GW proyek yang akan diselesaikan hingga 2025. Sayangnya, dokumen rencana CIPP tidak menunjukan penurunan dari 2025 hingga 2035. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan terkait dengan komitmen pemerintah Indonesia dan PLN terkait pemensiunan PLTU.” kata Lauri
Menurutnya, draf CIPP juga tidak memasukan target pembiayaan terkait emisi dari PLTU batu bara di Indonesia yang kekurangan alat pengontrol emisi udara. Pada 2022, PLTU di Indonesia bertanggung jawab atas 10,000 kematian akibat polusi di nusantara.
“Peningkatan target bauran energi terbarukan pada 2030 patut diapresiasi, tetapi terlalu banyak fokus yang diberikan untuk biomassa dan hydropower yang seakan menyebabkan pembatasan pengembagan tenaga surya. Tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak dapat mengejar target 32 GW tenaga surya untuk dipasang sebelum 2030.” tambah Lauri.
Peneliti lainnya, Dave Jones, Global Insights Lead dari EMBER, mengatakan sebagai negara dengan ketergantungan batu bara yang tinggi, Indonesia tidak bisa menganggap enteng JETP.
“Jika Indonesia bisa keluar dari batu bara dan beralih ke energi terbarukan, maka negara manapun juga bisa. Hal ini merupakan contoh nyata skema pembiayaan inovatif dari negara maju dapat membuka pembiayaan yang diperlukan untuk mendorong transisi energi dekade ini. Namun, masih banyak pembiayaan yang dibutuhkan dan semua orang akan melihat kemungkinan yang terjadi pada India pada 2024,” kata Jones.
EMBER juga menyoroti target bauran energi terbarukan dalam draf CIPP JETP sebagai landasan penting dalam transisi energi Indonesia menuju energi bersih.
Dia berpendapat target yang tercantum dalam CIPP JETP dapat menjadi tolok ukur bagi negara berkembang lainnya yang berambisi serupa karena sejalan dengan seruan global untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada 2030.
(wdh)