Laporan itu menyebutkan bahwa pinjaman dari China itu turun jauh dari periode 2013-2017 ketika Beijing secara rerata mengeluarkan pinjaman US$117 miliar pertahun untuk negara-negara berkembang. Jumlah tersebut jauh melampaui pengeluaran pinjaman AS hampir tiga banding satu.
Terjadi banyak perubahan dalam satu dekade setelah Presiden Xi Jinping meluncurkan program Belt and Road. Beberapa negara penerima bantuan itu menyatakan gagal bayar, Beijing pun dituduh bertindak sebagai pemberi pinjaman yang tak bertanggung jawab.
Hubungan diplomatik erat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan ketegangan geopolitik dengan Barat memperburuk situasi dan menyebabkan banyak negara Eropa tidak bergitu tertarik lagi dengan program Belt and Road.
Masalah-masalah itu - ditambah dengan pelemahan ekonomi di dalam negeri - bisa menjadi pemicu perubahan kebijakan China dalam pemberian kredit sementara ingin terus mempertahankan pengaruh dari sisi finansia di negara-negara berkembang.
"China tidak akan diam dan membiarkan inisiatif intrastruktur globalnya itu hancur. Itu tidak akan terjadi," kata Brad Parks, direktur eksekutif AidData dan penulis utama laporan ini.
"Beijing saat ini dalam misi penyelamatan. Saat ini mereka sedang memetakan portfolio globalnya dan memadamkan krisis yang terjadi," tambah Parks.
Pendekatan Hati-hati
Pendekatan yang lebih hati-hati dari China ini disebabkan oleh masalah finansial yang dihadapi banyak negara peminjam.
AidData menyebut sekitar 80% pinjaman yang dikucurkan Beijing pada negara berkembang dimanfaatkan untuk membantu negara yang sedang mengalami krisis finansial. Basis data periset ini meliputi instrumen finansial bernilai US$1,3 triliun yang tersebar di 165 negara dalam periode 2000-2021. Data ini meliputi juga sejumlah proyek yang disepakati dalak periode itu namun baru dimulai tahun ini.
Park merujuk pada penghitungan kembali yang memperlihatkan ada perubahan dalam pandangan jangka panjang China sehingga negara itu memberi pinjaman baru dan pelindung proyek.
China mulai meminta institusi internasional untuk melakukan analisis risiko seperit pada International Finance Corporation, sektor swasta Bank Dunia. China juga berinvestasi lewat pinjaman sindikasi yang dipimpin oleh bank komersial barat.
AidData mengatakan langkah-langkah tersebut membuat China menjadi peminjam dan investor proyek di negara berkembang yang lebih efisien. Meski memanfaatkan institusi barat untuk mewujudkan strategi itu, sebagian besar proyek yang dibiayai China tersebut masih dibangun oleh kontraktor China.
Laporan ini juga menandai perubahan dalam struktur kesepakatan yang diinginkan Beijing. Sebagian dari portofolio pemberian pinjangan tak mendesak ke negara berpenghasilan rendah dan menengah kini diberiklan melalui pinjaman sindikasi. Lebih dari 80% portofolio itu melibatkan bank komersial barat dan insitusi multilateral.
"Beijing bertindak seperti manajer ingin memaksimalkan keuntugngan dari investasi portofolionya," kata Park dalam laporan itu.
Mereka mengatakan upaya China menghilangkan risiko ini disalah artikan oleh para pembuat kebijakan di negara-negara barat. "Washington, London dan Brussels semakin terpancing ke arah persaingan dengan versi Brick and Road Initiative yang tidak lagi ada."
Risiko Tetap Ada
Perubahan pendekatan dalam memberi pinjaman ini tidak bisa melindungi Beijing dari risiko terhadap reputasinya.l Amerika dan Eropa semakin khawatir dengan pengaruh China dalam beberapa tahun terakhir sehingga mereka mengeluarkan berbagai kebijakan untuk melucuti ambisi Beijing di segala sektor, mulai dari teknologi hinggan kendaraan listrik.
Tekanan geopolitik membuat sejumlah negara mempertimbangkan kembali apakah kerja sama dengan China di program Belt and Road atau program lain akan memiliki imbalan. Italia, satu-satunya anggota G7 yang ikut strategi andalan China itu, akan keluar pada akhir tahun ini. Filipina bulan lalu mengatakan tidak aman mencari pendanaan bagi tiga proyek kereta api karena ketegangan di Laut China Selatan.
Laporan AidData ini mengutip data Gallup World Poll yang mengatakan bahwa popularitas Beijing di negara berkembang dari 56% pada 2019 menjadi 40% pada 2021.
Parks mengatakan meski ada tantangan itu, Chima masih bsia bertahan sebagai pemberi pinjaman terbesar ke negara berkembang karena strategi barunya yang lebih bagus itu.
Selain itu menurut Park, Beijing memiliki keuntungan yang belum bisa ditandingi oleh Barat: Beijinglebih cepat dalam menyelesaikan proyek.
"Kecepatan adalah kunci" bagi para pemimpin negara berkembang uang ingin membangun infrastruktur kata Park. Dia menambahkan bahwa bank-bank Barat memerlukan waktu lebih dari satu dekade untuk membangun proyek yang bisa diselesaikan China dalam tiga tahun.
Dia mengatakan bahwa Washington mengalami kesulitan bersaing dalam "dolar-untuk-dolar" dengan Beijing yang beraratu mereka harus dengan hati-hati memilih lokasi yang akan memberi keuntungan terbesar bagi mereka.
"Kecuali atau hingga G7 mengatasi isu ini secara frontal," kata Park, "mereka tidak akan sebanding dengan Beijing."
(bbn)