"Pasokan semuanya saat ini sudah cukup,” kata Colin Hamilton, direktur pelaksana untuk penelitian komoditas di BMO Capital Markets Ltd. Harga logam baterai "terlalu tinggi untuk bisa berkelanjutan" begitu produksi berkembang lebih cepat dari yang diperkirakan, katanya.
Penjualan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) masih terus meningkat. Akan tetapi, suku bunga yang lebih tinggi dan kondisi ekonomi yang tidak menentu di negara-negara besar meredam permintaan konsumen. Di China, pasar terbesar, terjadi perlambatan pertumbuhan dari tahun ke tahun.
Analis ANZ Group Holdings Ltd Daniel Hynes dan Soni Kumari, dalam sebuah catatan pekan lalu, mengatakan peningkatan kapasitas baterai China yang besar, dibantu oleh kebijakan pemerintah, berarti pasokan melebihi permintaan dua banding satu.
Hal ini telah membuat produsen baterai memotong produksi dan mengurangi persediaan mereka. Selain itu, harga litium, nikel, dan kobalt kemungkinan tetap rendah dalam jangka pendek.
Harga logam yang lebih rendah memberikan beberapa keringanan biaya bagi produsen mobil dan produsen baterai, dan dapat mengarah pada EV yang lebih murah bagi konsumen. BYD Co, produsen EV terbesar di China, dan Contemporary Amperex Technology Co, produsen baterai terbesar di negara tersebut, sama-sama mendapat untung dari rendahnya harga litium tahun ini.
Di sisi pasokan dan pengolahan logam, beberapa perkembangan telah membebani harga. Ada perluasan tiba-tiba pada pertambangan litium berkadar rendah di China. Sementara itu, pasar nikel telah diubah oleh gelombang besar produksi berbiaya rendah dari pabrik-pabrik yang dibiayai oleh China di Indonesia.
Juga ada lebih banyak kobalt yang diproduksi, terutama dari tambang-tambang tembaga di Republik Demokratik Kongo dan proyek nikel di Indonesia, di mana itu dihasilkan sebagai produk sampingan.
Menurut perkiraan perusahaan konsultan industri Benchmark Mineral Intelligence, akan ada kelebihan pasokan ketiga logam baterai ini dalam beberapa tahun ke depan. Pasar nikel dan litium masing-masing tidak akan mengalami defisit hingga 2027 dan 2028. Sementara itu, permintaan akan melampaui pasokan kobalt mulai 2026.
"Harga litium akan terus menghadapi tekanan penurunan pada 2024 dan 2025 karena pelepasan sumber pasokan baru melebihi permintaan," kata Li Jiahui, seorang analis di perusahaan perdagangan Xiamen Xiangyu New Energy Co, dalam sebuah konferensi bulan lalu.
Ancaman bagi Pertambangan
Namun, masih ada risiko kenaikan bagi logam baterai. Kemungkinan Indonesia, yang memproduksi lebih dari setengah nikel dunia, dapat mengambil langkah-langkah kebijakan untuk meningkatkan harga, kata Citigroup Inc dalam catatan bulan lalu.
Sementara itu, China berencana untuk meningkatkan stok strategis kobalt, yang juga penting dalam industri pertahanan dan kedirgantaraan.
Dalam jangka panjang, pertanyaannya adalah apakah siklus harga yang lebih rendah saat ini akan membuat perusahaan membatalkan atau menunda rencana pembangunan tambang atau smelter baru untuk dekade mendatang - kecuali mendapat dukungan kebijakan dari pemerintah yang bertujuan untuk membangun rantai pasokan mereka sendiri.
Albemarle Corp, produsen litium terbesar di dunia, mengatakan ini sudah mulai terjadi. Harga sekarang berada pada level yang mengancam sejumlah besar proyek berbiaya tinggi, kata para eksekutif dalam panggilan konferensi pada Kamis pekan lalu.
Berbicara di London bulan lalu, Sue Shaw, kepala transisi energi dan bahan baku baterai di Wood Mackenzie, mengatakan ketidakstabilan ini belum berakhir - bahkan ketika pasar sudah mulai matang.
“Harga bahan baku baterai akan tetap bergejolak, tetapi siklus masa depan menjadi lebih berkelanjutan karena pasar menunjukkan tanda-tanda pematangan,” katanya. "Tekanan untuk melakukan hal ini sangat besar, bahkan dengan adanya daur ulang."
(bbn)