Bloomberg Technoz, Jakarta - Fenomena pecinta barang bekas (thrift) di Indonesia semakin tinggi. Mereka tak segan menggunakan barang bekas asal bermerek.
Lalu apa yang menyebabkan fenomena ini semakin digemari? Menurut Sosiolog dari Universitas Nasional, Sigit Rochardi, merek itu diibaratkan menentukan level.
“Merk itu level. Barang-barang second diburu oleh kelas menengah Bawah (bukan menengah atas) sebagai upaya untuk menaikan level mereka dalam pergaulan sosial. Gejala ini dilakukan oleh kelas menengah Bawah yaitu mereka yang baru lepas dari garis kemiskinan dan berusaha naik tangga sosial dengan stabilitas ekonomi,” kata Sigit saat berbincang dengan Bloomberg Technoz.
Selain alasan tersebut, Sigit menambahkan bahwa semakin diminatinya barang bekas atau barang thrift dikarenakan mengenakan barang-barang bermerek bisa melambangkan pengakuan di beberapa lingkungan sosial.
“Tujuan kedua adalah memperoleh pengakuan dari kelompoknya akan status sosial baru yang telah mereka peroleh. Mereka melengkapi koleksi barang dengan barang bermerk yang bisa ditunjukkan di depan umum. Sejauh barng itu tidak bisa dilihat orang banyak (misalnya pakaian dalam, kaos kaki) mereka tidak akan memburu barang tersebut,” ujar Sigit.
Menurut salah satu pedagang barang bekas, Mamet, barang-barang bekas yang paling diminati adalah barang-barang yang memiliki sejarah, dan merek yang sedang dipakai artis-artis zaman sekarang.
Contohnya, saat Travis Scott mengenakan kaos artis terkenal zaman dulu seperti Tupac ataupun Aliyah, harga kaos tersebut menjadi naik tinggi. “Atau yang bernilai sejarah, seperti kaos konser yang sudah tidak diproduksi lagi,itu juga bisa tinggi harganya. Dan bisa jadi sebuah pencapaian tertinggi jika berhasil mendapatkanya,” kata Mamet.
Barang-barang bekas lain yang sering dicari adalah celana jeans bermerek, jaket, mainan-mainan seperti action figure dan barang langka lainnya.
Banyak faktor yang membuat barang bekas diminati salah satunya faktor ekonomi. Selain itu, menurut pengamat sosial Universitas Indonesia, Devi Rahmawati, faktor lain seperti sejarah thrifting sendiri perlu dipahami.
“Kalau konteks di Indonesia memang di masa lalu thrifting menjadi alternatif bagi kelompok yang ingin keliatan memiliki kesempatan untuk bisa sejajar dengan kelas sosial tertentu tapi dengan barang-barang yang berkualitas dan murah. Kenapa? Karena masyarakat kita adalah masyarakat hierarkis. Beda dengan Barat yagn sangat egalitarian yang artinya adalah antara saya dan kamu tidak ada perbedaan kelas,” ujar Devi kepada Bloomberg Technoz.
Lalu kenapa barang thrifting sekarang diminati lintas kelas?
“Sederhana, karena pengaruh digital. Pada era digital mata uangnya adalah selalu kebaruan. Nah, untuk menjadi baru terus menerus tentu akan menggerus uang dong. Thrifting akan menjadi salah satu alternatif. Karena apa yang kamu posting di IG tidak mungkin akan sama. Kalau kamu posting mengenakan pakaian warna merah, makan baju warnah merah tidak mungkin kamu post lagi pada siang hari. Jadi pokoknya haru selalu baru, harus selalu beda,” jawabnya.
(spt)