Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat pada kuartal III-2023 akibat keterpurukan kinerja ekspor dan belanja pemerintah yang anjlok. 

Di sisa tahun ini dan kuartal selanjutnya, perekonomian domestik masih akan dibayangi tekanan dari pengetatan moneter yang kembali dilakukan oleh Bank Indonesia (BI), ditambah kenaikan harga pangan yang membebani laju konsumsi rumah tangga. 

Namun, semakin dekatnya gelar Pemilu dan Pilpres 2024, memberi peluang lonjakan pertumbuhan konsumsi Lembaga Non-Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) juga belanja pemerintah, yang bisa membantu laju perekonomian tetap bertahan di kisaran 5% baik tahun ini maupun tahun depan.

Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini melaporkan, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal III-2023 tercatat 4,94% year-on-year, di bawah prediksi mayoritas ekonom yang memperkirakan pertumbuhan 5,03%. Capaian PDB kuartal lalu juga lebih rendah dibanding kuartal II-2023 yang mencapai 5,17%.

Penurunan PDB itu akibat kinerja ekspor yang anjlok cukup hingga 4,26%, disusul penurunan belanja pemerintah 3,76%. Sementara, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 5,06%, turun dibandingkan pertumbuhan kuartal II lalu sebesar 5,23%. Sedangkan LNPRT tercatat tumbuh 6,21%, turun dibanding kuartal sebelumnya di 8,61%. 

Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) menjadi satu-satunya yang tumbuh lebih tinggi dibanding kuartal sebelumnya di angka 5,77% dibandingkan 4,63% pada kuartal II lalu. 

"Konsumsi rumah tangga masih menjadi sumber pertumbuhan tertinggi pada kuartal III-2023 sebesar 2,63%. Kontribusi itu relatif kecil dibanding kuartal sebelumnya karena konsumsi rumah tangga sudah mencapai puncak pada kuartal II lalu," kata Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, dalam jumpa pers di kantor BPS, hari ini (6/11/2023).

Konsumsi rumah tangga banyak disumbang oleh pertumbuhan di sektor transportasi dan komunikasi yang tecermin dari peningkatan penjualan sepeda motor, juga pengeluaran transportasi dari moda kereta api, kapal laut hingga pesawat. Juga pertumbuhan dari sektor restoran dan hotel yang tecermin dari kenaikan tingkat hunian kamar.

Risiko Bunga Acuan

BI secara mengejutkan mengerek bunga lagi pada Oktober lalu menjadi 6% demi menahan tekanan atas nilai tukar akibat sentimen eksternal yang memuncak. 

Meski saat ini nilai tukar rupiah telah memperlihatkan tren penguatan sejurus dengan kian kecilnya peluang kenaikan bunga acuan Federal Reserve, bank sentral AS, para analis memperkirakan masih ada potensi BI kembali menaikkan BI 7 Days Repo Rate (BI7DRR) di sisa tahun ini. 

Sinyal masih adanya peluang kenaikan bunga acuan terlihat dari hasil lelang Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang memberi bunga diskonto di kisaran 7,02%. Level bunga diskonto SRBI saat ini dianggap sebagai proxy atau cerminan posisi BI7DRR dalam jangka pendek. Tingkat bunga acuan diperkirakan akan dikerek ke kisaran 6,25%-6,5% pada akhir tahun. 

"Kami masih melihat BI7DRR pada akhir tahun berada pada level 6,5%, dengan kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin yang dilakukan pada November ini," kata Satria Sambijantoro dan Drewya Cinantyan, analis dan ekonom Bahana Sekuritas dalam catatan yang dilansir pekan lalu.

Kenaikan bunga acuan yang diprediksi berlanjut di sisa tahun ini dapat kian menekan daya beli masyarakat yang sejauh ini sudah cukup terpukul kenaikan harga pangan. Inflasi inti RI pada Oktober, ukuran yang biasa dibaca sebagai cerminan daya beli masyarakat, sudah di 1,97%. Angka itu lebih rendah dibanding target bawah bank sentral di kisaran 2%-4%.

Dampak kenaikan bunga acuan umumnya baru berdampak pada pertumbuhan ekonomi 3-6 bulan setelah dikerek. "Efek kenaikan bunga acuan baru akan terasa pada semester I-2024 dengan bottom ekonomi mungkin terjadi pada kuartal II-2024 atau kuartal III-2024," kata Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas.

Dengan mesin utama penggerak ekonomi dihadang kenaikan bunga acuan dan tekanan harga pangan, pertumbuhan ekonomi masih bisa berharap pada kenaikan belanja seputar Pemilu 2024. 

Kajian yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), mencatat, berdasarkan data historis sejak 2010, kinerja konsumsi LNPRT secara konsisten mencatat pertumbuhan puncak pada tahun pemilu. 

"Peningkatan itu disebabkan oleh kenaikan belanja partai politik untuk kampanye sepanjang tahun pemilu dibandingkan dengan tahun-tahun non-pemilu. Namun, lonjakan ini hanya bersifat sementara. Konsumsi kemudian turun secara signifikan setelah pemilu," kata Teuku Riefky, Ekonom LPEM FEB UI, dikutip Senin (6/11/2023).

Dampak positif dari periode pemilu muncul akibat suntikan likuditas secara masif untuk kebutuhan kampanye, pengeluaran publik yang dipengaruhi motif politik, serta peningkatan konsumsi swasta.

Akan tetapi, perlu dicatat, sumbangan LNPRT terhadap PDB selama ini relatif kecil yaitu hanya di kisaran 2% dari total PDB 2022 lalu. Pada saat yang sama, pertumbuhan PMTB atau investasi juga tergerus turun selama periode pemilu karena para pemodal cenderung menunggu alias wait and see.

"Investasi baru meningkat setahun setelah pemilu, kecuali pada 2020 akibat pandemi Covid-19," jelas Riefky.

LPEM UI memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2023 full-year akan berada di angka 5%-5,1%. Sedangkan pada 2024, angkanya diprediksi juga stagnan di kisaran yang sama. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam pernyataan sebelumnya optimistis perekonomian RI tahun ini akan mencatat angka pertumbuhan 5,1% terbantu oleh paket kebijakan mulai dari bantuan sosial pada masyarakat rentan juga insentif pajak di sektor properti untuk membantu daya beli agar tidak kian tertekan. 

(rui/aji)

No more pages