Logo Bloomberg Technoz

Optimisme itu menggelorakan aksi beli di pasar saham dan obligasi global, juga mengerek pamor mata uang emerging market atau pasar negara berkembang. Yield atau tingkat imbal hasil surat utang AS, Treasury, semakin turun ke kisaran 4,57%, padahal beberapa waktu lalu sempat melampaui 5%, tertinggi sejak 2007. Indeks harga obligasi negara maju mencetak reli tiga hari berturut-turut. Sementara indeks mata uang emerging market MSCI Index juga melenggang ke zona hijau. 

Di pasar keuangan Indonesia, pemodal asing mencetak aksi beli bersih senilai total Rp2,83 triliun. Terdiri atas beli bersih sebesar Rp4,07 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), lalu sebesar Rp1,61 triliun di pasar Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan mencatat posisi jual neto di pasar saham senilai Rp2,84 triliun, berdasarkan data transaksi 30 Oktober-2 November lalu, menurut laporan Bank Indonesia (BI).

"Selama tahun 2023, berdasarkan data setelmen sampai dengan 2 November, nonresiden beli neto Rp53,43 triliun di pasar SBN, jual neto Rp15,02 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp14,59 triliun di SRBI," demikian dilansir oleh BI, Jumat (3/11/2023).

Pro stabilitas

Dengan kini sentimen eksternal terlihat telah jauh mereda, rupiah bersama mata uang lain yang menjadi lawan the greenback, bisa bernafas lega. 

Beberapa sentimen domestik akan menjadi perhatian pekan ini.

Perhatian pelaku pasar akan mengarah pada rilis data pertumbuhan ekonomi RI kuartal III-2023 yang dijadwalkan pada Senin (6/11/2023), disusul oleh rilis data posisi cadangan devisa Indonesia pada Oktober pada Selasa (7/11/2023), juga publikasi Indeks Keyakinan Konsumen keesokan hari atau pada Rabu (8/11/2023).

Pekan ini, pelaku pasar juga akan menanti kepastian dari panggung politik terkait hasil Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konsitusi yang bisa mempengaruhi kepesertaan salah satu pasangan capres-cawapres yaitu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.

Dalam pernyataan terakhir Jumat pagi lalu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan, kebijakan moneter BI akan terus diarahkan untuk menjaga stabilitas nilai tukar.

"Kebijakan moneter terus diarahkan untuk menjaga stabilitas, pro stability. Sementara empat kebijakan lain yaitu makroprudensial, sistem pembayaran, pengembangan pasar uang dan pasar valas, serta ekonomi keuangan inklusif dan hijau tetap diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, pro growth," kata Perry.

Untuk mendukung stabilitas, lanjut Perry, BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 6% bulan lalu. "Kenaikan ini untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sebagai langkah preemptive untuk memitigasi dampaknya terhadap imported inflation," sambungnya.

BI diprediksi masih akan melanjutkan kenaikan bunga acuan lagi di sisa tahun ini, menurut perkiraan analis dan ekonom, untuk membantu pelebaran lagi selisih imbal hasil investasi RI dengan Amerika sehingga modal asing bisa kembali masuk.

Saat ini selisih imbal hasil terhenti di bawah 230 bps. Dengan kenaikan lagi BI 7 Days Repo Rate (BI7DRR), itu bisa membantu imbal hasil surat utang RI naik dan memperlebar yield spread ke kisaran lebih kompetitif bagi modal asing.

Namun, melanjutkan kenaikan bunga acuan oleh BI bukan tanpa risiko dengan saat ini tingkat daya beli masyarakat sudah semakin tertekan. Inflasi inti RI pada Oktober sudah lebih rendah dari batas bawah target BI yaitu 1,97%. Daya beli yang kian tertekan mengancam kinerja konsumsi rumah tangga, mesin penggerak ekonomi terbesar Indonesia saat ini.

(rui)

No more pages