Jisman menjelaskan pemerintah juga telah menetapkan nilai persetujuan teknis batas atas emisi pelaku usaha (PTBAE-PU). Untuk sementara, PTBAE-PU tersebut berlaku untuk empat kategori PLTU batu bara yang terhubung dengan jaringan listrik PLN.
Pertama, PLTU mulut tambang atau PLTU nonmulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 25 MW—kurang dari 100 megawatt (MW).
Kedua, PLTU mulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 100 MW.
Ketiga, PLTU nonmulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari atau sama dengan 100 MW sampai dengan sama atau kurang dari 400 MW.
Keempat, PLTU nonmulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari 400 MW.
"Pada 2024, perdagangan karbon juga akan diterapkan pada PLTU batu bara nonmulut tambang dan [PLTU batu bara] mulut tambang dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 25 MW, ukuran yang cukup kecil," ujar Jisman.
Adapun, PTBAE-PU untuk PLTU yang tidak terhubung dengan jaringan listrik PLN akan ditetapkan paling lambat 31 Desember 2024.
Selain itu, ke depannya, perdagangan karbon di subsektor pembangkit tenaga listrik pada fase kedua dan ketiga akan diterapkan pada pembangkit listrik fosil selain PLTU batu bara dan tidak hanya yang terhubung ke jaringan listrik PLN.
Lebih lanjut, Jisman menyebut pelaku usaha PLTU batu bara memiliki kewajiban untuk melaporkan hasil pelaksanaan perdagangan karbon, rencana pemantauan emisi gas rumah kaca, dan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan kepada Kementerian ESDM.
Laporan dikirimkan melalui APPLE-GATRIK atau Aplikasi Penghitungan dan Pelaporan Emisi Ketenagalistrikan.
Pada kesempatan yang sama, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca di sektor energi, diperlukan dukungan dan partisipasi dari pembangkit yang memanfaatkan energi baru terbarukan dan pelaku usaha lainnya yang melakukan aksi mitigasi di lingkup sektor energi.
Berdasarkan peta jalan perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik yang telah disusun, pelaksanaan perdagangan karbon berpotensi dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar lebih dari 36 juta ton CO2e pada 2030.
Untuk itu, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional.
"Nilai ekonomi karbon ini merupakan mekanisme pasar yang memberikan beban atas emisi yang dihasilkan kepada penghasil emisi, sehingga dapat dikatakan nilai ekonomi karbon dapat memberikan insentif bagi kegiatan yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca," ujar Arifin.
Sebelumnya, Kementerian ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No. 16/2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik.
Regulasi ini salah satunya mengatur mengenai perdagangan karbon di subsektor pembangkit tenaga listrik dan akan menjadi acuan dalam pelaksanaan perdagangan karbon tersebut.
(rez/wdh)