Logo Bloomberg Technoz

Berdasarkan survei PwC terhadap 1.634 pemimpin perusahaan di Asia Pasifik, CEO di kawasan tersebut tetap menunjukkan tingkat optimisme yang kuat terhadap pertumbuhan domestik di negara mereka, dengan China memimpin sebesar 64%, India 57%, dan Indonesia 50%.

Tingkat optimisme tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan level kumulatif global yang hanya 29%. 

Senior Partner PwC Indonesia Territory Eddy Rintis menjelaskan, di Tanah Air, sebagian besar pemimpin perusahaan sudah memiliki ekspektasi tinggi terhadap masa depan ekonomi domestik secara agregat. 

Namun, 50% dari pebisnis masih melihat tekanan inflasi di dalam negeri sebagai ancaman dalam jangka pendek, bahkan panjang. 

Sebagai strategi untuk menghadapi risiko tersebut, lanjutnya, para CEO di Indonesia mulai menyusun rencana untuk memangkas belanja perusahaan sekaligus mengebut pertumbuhan pendapatan. 

“Selain itu, meski CEO Indonesia tidak masuk peringkat konflik geopolitik sebagai ancaman utama untuk 12 bulan ke depan, sebagian besar dari mereka sedang mempertimbangkan untuk berpartisipasi dalam rantai pasok [regional] dan mendiversifikasi penawaran produk mereka untuk mengurangi ancaman ini,” ujarnya.

Inflasi domestik 10 tahun terakhir rata-rata sebesar 4,23% (Bloomberg)

Pada 2022, para pelaku bisnis melihat risiko kesehatan dan dunia maya sebagai ancaman terhadap iklim usaha. Akan tetapi, memasuki 2023, perspektif mereka mulai bergeser ke dampak pelemahan ekonomi di tingkat global maupun regional. 

Sebanyak 41% dari CEO di Asia Pasifik melihat inflasi sebagai ancaman terbesar dalam jangka pendek (12 bulan ke depan) dan menengah (5 tahun ke depan), disusul faktor volatilitas ekonomi makro sebesar 30%. 

Konflik geopolitik (30%) juga menonjol sebagai salah satu risiko utama yang dikahawatirkan pebisnis. Perang di Ukraina dan berkembangnya kekhawatiran tentang titik api geopolitik di bagian lain dunia telah menyebabkan CEO Asia Pasifik memikirkan kembali aspek model bisnis mereka. 

Tiga Strategi

Terkait dengan hal itu, hasil riset menunjukkan bahwa pemimpin bisnis di Asia Pasifik mulai merancang tiga strategi utama untuk setahun ke depan. 

Pertama, sebanyak 53% dari mereka akan menyesuaikan akses mereka di pasar saat ini dan/atau berekspansi ke pasar baru.

Kedua, sebanyak 49% akan menyesuaikan pola rantai pasok. 

Ketiga, sebanyak 48% akan mendiversifikasi produk yang mereka tawarkan. 

“Tren di Asia Pasifik ini berbeda dengan kebanyakan CEO di tingkat global yang lebih memprioritaskan soal investasi dalam keamanan siber dan privasi data,” tulis laporan PwC.

Ilustrasi: Kapal ekspor di galangan kapal IPC Car Terminal di Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, Indonesia. (Dok. Dimas Ardian/ Bloomberg)

Sebelumnya, para pengusaha di Indonesia memang sudah mulai waswas dengan perlambatan kinerja industri, setelah membaca laporan performa ekspor nasional yang melemah secara bulanan pada Januari 2023. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju ekspor Indonesia melanjutkan perlambatan bulanannya pada Januari 2023 dengan capaian hanya senilai US$22,31 miliar atau menurun dari US$23,83 pada Desember 2022.

Ketua Bidang Industri Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Johnny Darmawan mengamini diversifikasi produk ke sektor hilir menjadi langkah yang wajib ditempuh pelaku usaha untuk dapat keluar dari tren perlambatan tersebut. 

"Solusinya adalah pendalaman industri atau penghiliran agar ada nilai tambah dari produk-produk yang kita ekspor. Proses komoditas-komoditas ekspor, khususnya pertambangan, di dalam negeri, nilai [tambah] bisa berlipat-lipat. Nilai keseluruhan naik, tidak lagi bergantung pada pergerakan harga dan nilai tukar," katanya saat dihubungi, Rabu (15/02/2023).

Pemerintah memang sudah menyadari hal tersebut dan mulai mengupayakan adanya diversifikasi produk serta penghiliran industri. Namun, menurut Johnny, upaya itu terlambat dilakukan mengingat waktu yang dibutuhkan untuk merealisasikannya tidak bisa dibilang singkat.

"Mulainya itu terlambat, baru belakangan ini. Waktunya itu juga lama, tidak bisa begitu saja jadi. Contoh itu untuk [komoditas] nikel, smelter-nya tak jadi-jadi juga karena itu butuh uang besar, investasinya perlu dicari dahulu," tuturnya.

(wdh)

No more pages