"Saya belum mau komen (komentar) tapi yang jelas Demokrat menolak," kata Santoso.
Diketahui apabila mengacu pada Pasal 22 ayat 2 UUD 1945 disebutkan bahwa perpu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. DPR harus segera membahas suatu perpu yang baru dikeluarkan oleh presiden untuk mengambil keputusan menyetujui atau menolak. Selanjutnya Pasal 22 ayat 3 UUD1945 menegaskan bahwa jika tidak mendapat persetujuan DPR maka perpu itu harus dicabut.
Perppu Ciptaker yang menurut DPR sudah dianggap disahkan Baleg walau belum diketok di paripurna itu ditanggapi oleh peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus.
"Mana ada sih sah tapi belum ketok ya? Pengesahan RUU di DPR kan tak bisa lain ditandai dengan pengetokan palu oleh pimpinan sidang paripurna di rapat paripurna," kata Lucius saat dihubungi.
Prosedur pembahasan RUU termasuk perppu di rapat paripurna kata dia merupakan sesuatu yang penting.
"DPR sendiri kadang menjadikan alasan prosedur itu untuk membela diri," lanjutnya.
Namun demikian kata dia, secara substansi bisa dipahami klaim DPR yang menganggap bahwa keputusan rapat Baleg pada tahap pembicaraan tingkat I memang sudah mencerminkan sikap akhir DPR terhadap Perppu Ciptaker. Komposisi 7 fraksi yang setuju dan 2 lainnya yang menolak pada pengambilan keputusan di Baleg sudah menggambarkan sikap DPR bahwa perppu ini dibicarakan di forum paripurna setelah dari Baleg.
"Dan mestinya dengan referensi keputusan Baleg itu, tak sulit bagi DPR untuk segera mengagendakan pengambilan keputusan di Paripurna pada penutupan masa sidang III lalu."
Namun dia mempertanyakan apabila DPR sepakat bahwa Perppu Ciptaker ini merupakan respons atas kegentingan memaksa maka seharusnya respons parlemen juga perlu gesit dan cepat.
"Itu yang saya katakan, DPR ini enggak konsisten. Menerima perppu dan alasan kegentingannya tetapi respons yang ditinjukkan justru langkah yang biasa-biasa saja seolah-olah proses pengesahan RUU umumnya," kata dia lagi.
(ezr)