BI Mungkin Tetap Naikkan Bunga Meski The Fed Diprediksi Selesai
Ruisa Khoiriyah
02 November 2023 12:25
Bloomberg Technoz, Jakarta - Pasar keuangan global tersulut euforia pasca sinyal dovish yang kuat dari bank sentral Amerika Serikat (AS) dalam pengumuman hasil Federal Open Meeting Committee (FOMC) dini hari tadi, Kamis (2/11/2023).
Pelaku pasar bahkan semakin optimistis Federal Reserve atau the Fed akan mulai menurunkan bunga acuan pada Juni tahun depan dengan probabilitas hingga 40%. Bunga acuan AS di level saat ini 5,5% diperkirakan akan bertahan dalam waktu cukup lama dengan potensi kenaikan yang lebih terbatas.
Sinyal the Fed ini bisa menjadi 'game changer' bagi penentuan kebijakan bunga acuan oleh bank-bank sentral di banyak negara, termasuk bagi Bank Indonesia (BI).
Akankah dengan sinyal terbaru dari Amerika itu, BI juga akan menahan kenaikan bunga lebih lanjut menyusul penguatan rupiah yang diperkirakan masih berlanjut pasca FOMC the Fed semalam?
Di mata analis dan ekonom, apa yang terlontar dari Jerome Powell, Chairman Federal Reserve, dini hari tadi, mungkin sedikit memberikan kelegaan bagi para pejabat bank sentral terutama di Asia yang menyaksikan nilai mata uang telah terpuruk tajam akibat sentimen bunga acuan sekian lama melambungkan dolar AS. Akan tetapi, bank sentral, termasuk Bank Indonesia (BI) kemungkinan masih akan berhati-hati.
Bahkan sinyal terakhir yang mengemuka dari MH Thamrin, kawasan di mana BI berkantor, memperlihatkan bunga acuan BI 7 Days Repo Rate (BI7DRR) kemungkinan akan kembali dikerek naik pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang dijadwalkan pada 23 November nanti.
Itu terlihat dari pergerakan bunga diskonto instrumen baru yakni Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang saat ini dianggap sebagai proxy atau cerminan dari tingkat BI7DRR dalam jangka pendek.
Bunga diskonto SRBI tenor terpanjang yaitu 12 bulan dalam lelang SRBI yang digelar kemarin (1/11/2023), ditetapkan di level 7,02%. Level itu lebih tinggi dibanding tingkat bunga SRBI-12 bulan pada lelang sebelumnya yang di kisaran 6,97%.
"Kami masih melihat BI7DRR pada akhir tahun berada pada level 6,50%, dengan kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin yang dilakukan pada November ini," kata Satria Sambijantoro dan Drewya Cinantyan, analis dan ekonom Bahana Sekuritas dalam catatan yang dilansir pagi ini.
Menurut Bahana Sekuritas, kebijakan moneter seharusnya bersifat pre-emptive alih-alih reaktif. Akan terlambat bagi BI menaikkan bunga acuan secara reaktif ketika nilai tukar rupiah sudah melemah. "Mengingat perbedaan harga [rate differentials] yang besar dan defisit neraca pembayaran RI yang terus berlanjut, sikap the Fed yang tidak terlalu hawkish tidak akan mengubah dinamika supply-demand valas," jelas analis.
Sejauh ini di pasar valas domestik terlihat harga dolar AS masih tertahan di kisaran Rp16.000/US$. Bank-bank besar dan bank asing masih bertahan memasang kurs jual valas di kisaran tersebut bahkan ada yang sampai Rp16.300-an per dolar AS.
Dalam pernyataan usai FOMC, Powell secara eksplisit juga menyatakan bahwa pelonggaran kebijakan (penurunan bunga acuan) tidak akan dilakukan, dengan menyatakan: "Kami tidak berbicara tentang penurunan suku bunga."
Posisi bunga acuan AS akan tetap tinggi di 5,5% dalam waktu lama dan itu akan membuat arah kebijakan bunga acuan di negara-negara berkembang seperti Indonesia juga akan tertahan tinggi.
Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas, juga menggarisbawahi hal serupa. Potensi kenaikan BI7DRR lebih lanjut pada bulan ini masih sangat terbuka bila melihat pergerakan bunga diskonto SRBI-12 bulan yang sudah di 7,02%.
Jadi, kendati aksi beli pemodal di pasar obligasi global berlangsung massif semalam bisa dibaca sebagai sinyal kuat transisi tren inverted bear steepening menuju inverted bull steepening, dan memberi peluang bagi surat utang RI untuk mulai diborong (long position), pelaku pasar masih mewaspadai potensi kenaikan bunga acuan BI7DRR bulan ini.
"Kenaikan bunga acuan BI7DRRR juga penting untuk mengantisipasi menipisnya selisih inflasi Indeks Harga Konsumen [IHK] Indonesia dibanding AS terutama inflasi inti," kata Lionel.
Kenaikan BI7DRR sebesar 25 bps bulan ini juga dibutuhkan untuk meyakinkan para pelaku pasar utamanya pemodal asing mengingat kejatuhan rupiah beberapa waktu lalu lebih banyak disebabkan oleh derasnya arus keluar modal asing (capital outflow) dari Indonesia.
Di kawasan Asia Tenggara, langkah BI mengerek bunga acuan dalam RDG bulan lalu diikuti oleh bank sentral Filipina yang menaikkan policy rate ke 6,5% pekan lalu. Hari ini otoritas moneter Hong Kong memutuskan menahan bunga acuan di level 5,75%, keputusan diambil pasca sinyal dovish dari The Fed tadi malam.
Bank sentral Malaysia, Bank Negara Malaysia, hari ini juga dijadwalkan akan mengumumkan bunga acuan di mana konsensus analis memperkirakan Malaysia akan menahan bunga acuan di 3% untuk tiga bulan berturut-turut. Keputusan Malaysia hari ini akan menjadi keputusan bunga acuan terakhir pada 2023.
Pada pukul 11:54 WIB, rupiah di pasar spot masih bergerak di kisaran Rp15.852/US$, mengindikasikan penguatan 84 bps dibanding posisi penutupan hari sebelumnya. Rupiah sempat menyentuh level terkuat hari ini di Rp15.835/US$ pada 09:53 WIB, akan tetapi kemudian kembali melemah dan bergerak rata-rata di kisaran Rp15.857/US$.
Penguatan rupiah sampai siang hari ini menjadi yang terbesar kedua di antara mata uang Asia. Won Korea Selatan memimpin dengan penguatan 1,05% disusul rupiah yang menguat 0,52% dan dolar Taiwan yang melesat 0,47%.