Meskipun kekeringan telah memicu kebakaran hutan dan kabut asap di kawasan Asia Tenggara tahun ini, dampaknya terhadap produksi minyak kelapa sawit hingga saat ini relatif terbatas. Penurunan curah hujan saat ini lebih sedikit dibandingkan dengan kejadian serupa sebelumnya.
Saat ini, sekitar "satu perlima produksi di Indonesia kemungkinan akan terganggu akibat kekeringan," kata Julian McGill, seorang ekonom pertanian dan direktur manajer dari perusahaan konsultan Glenauk Economics.
"Hal ini mungkin berarti tidak akan ada pertumbuhan di Indonesia tahun depan, namun belum cukup untuk menunjukkan penurunan besar dalam produksi. Kita perlu terus memantau defisit kelembaban tanah."
Di Malaysia, yang memasok sekitar seperempat produksi dunia, McGill mengatakan hasil panen sudah sangat rendah karena masalah ketenagakerjaan menghambat pemeliharaan perkebunan dan menghambat panen. Masalah cuaca pun akan semakin menambah gangguan.
Meskipun kelapa sawit biasanya tahan terhadap kekeringan dan banjir yang terjadi dalam waktu singkat, kelapa sawit mengalami periode cuaca kering yang berkepanjangan. Dampak paling parah akan terjadi setelah 12 bulan kemudian.
Menambah risiko pasokan adalah jumlah pohon kelapa sawit yang sudah tua dan tidak produktif, yang dapat lebih merusak hasil jika tidak segera ditangani.
Bahkan dengan kemunculan El Niño, harga-harga turun sebesar 11 persen tahun ini dan telah turun sekitar separuh dari rekor di atas 7.200 ringgit per ton dalam beberapa hari setelah Rusia menginvasi Ukraina tahun lalu. Dorab Mistry dari Godrej International Ltd. dan Direktur Eksekutif Oil World, Thomas Mielke, memberikan perkiraan mereka tentang harga pada hari Jumat.
Geopolitik, harga bahan bakar fosil, dan perang di Ukraina dan Timur Tengah menjadi faktor utama dalam menentukan harga. Peningkatan harga minyak bumi cenderung mendorong lebih banyak permintaan untuk bahan bakar yang berasal dari tanaman seperti kelapa sawit dan kedelai.
Indonesia mendapatkan mandat untuk meningkatkan penggunaan minyak kelapa sawit dalam solar menjadi 35 persen tahun ini. Upaya untuk meningkatkan campuran menjadi 40 persen atau lebih, atau menggunakan kelapa sawit dalam bahan bakar penerbangan, dapat meningkatkan harga lebih lanjut.
Dari sisi permintaan, selain prospek dari India dan China sebagai pembeli utama, para trader akan fokus pada ancaman dari regulasi deforestasi di Uni Eropa.
Perusahaan kelapa sawit memiliki waktu hingga akhir tahun 2024 untuk mematuhi rencana Uni Eropa melarang impor bahan baku yang diproduksi di lahan yang baru saja ditebangi, dengan periode penangguhan selama enam bulan tambahan untuk bisnis kecil. Pertanyaan mengenai dampaknya bagi jutaan petani kecil sedang hangat dibicarakan.
(bbn)