Tercatat, aktivitas manufaktur yang dicerminkan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) ada di level 51,5 pada Oktober. Angka ini melemah dibandingkan bulan sebelumnya yang ada di level 52,5.
Adapun level tersebut menjadi yang terendah sejak Mei, atau dalam 5 bulan, dan semakin mengkonfirmasi tekanan perlambatan perekonomian dalam negeri.
Berdasarkan data Bloomberg, pada November 2019 kemarin IHSG bergerak koreksi 3,48%. Penurunan ini menjadikan angka tertinggi, menyusul koreksi yang terjadi pada November 2021 yang melemah mencapai 0,87%.
Namun, berdasarkan data historis pada November 2020 IHSG juga sempat mencatatkan penguatan tertinggi hingga 9,44%. Pergerakan yang optimistit ini melanjutkan tren positif dari November 2018 yang mencatatkan penguatan 3,85%.
Pada November 2019, tekanan datang dari eksternal maupun internal. Kala itu, IHSG tertekan lantaran adanya sentimen negatif dari eksternal di mana ketidakpastian hadirnya perang dagang antara Amerika Serikat dengan China terus berlanjut.
Terlebih lagi, Presiden AS Donald Trump pada November silam menandatangani UU Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong. Hal tersebut membuat pembicaraan kesepakatan dagang antara kedua negara yang hampir selesai makin rumit.
Kemudian, tekanan juga terjadi pada perekonomian dalam negeri. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 sebesar 5,02% secara tahunan.
Pencapaian pertumbuhan ekonomi tersebut jauh lebih rendah dari raihan pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh mencapai 5,17% secara tahunan.
Adapun dalam rilisnya, faktor terbesar penyebab penurunan datang dari sisi ekspor di mana negara tujuan ekspor terbesar Indonesia juga mengalami perlambatan ekonomi serupa, yaitu China, India dan Eropa.
Untuk November 2023, ada beberapa sentimen dan katalis yang dapat mempengaruhi gerak IHSG yakni rilisnya data inflasi Indonesia periode Oktober 2023. BPS mengumumkan data inflasi Indonesia periode Oktober sebesar 2,56% secara tahunan (year-on-year/yoy).
Inflasi tersebut meningkat dibandingkan dengan inflasi bulan sebelumnya yang terjadi inflasi 2,28% yoy.
Sementara inflasi Oktober secara bulanan (month-to-month/mtm) ada di level 0,17% mtm, melandai dibandingkan September kemarin yang sebesar 0,19% mtm.
Secara mtm, penyumbang inflasi terbesar adalah beras dengan andil 0,06%. Kemudian bensin 0,04%, cabai rawit 0,03%, dan tarif angkutan udara 0,02%. Komoditas lain yang menyumbang inflasi 0,015% adalah cabai merah, emas, tarif air minum PAM, jeruk, dan sawi hijau.
Selain inflasi, pada pekan kemarin juga terdapat rilis data dari Bank Indonesia (BI), di mana BI melaporkan likuiditas perekonomian, atau uang beredar dalam arti luas (M2) pada September 2023 mencetak pertumbuhan positif.
Posisi M2 pada September tercatat sebesar Rp8.440,0 triliun atau tumbuh 6% secara tahunan, setelah pada bulan sebelumnya pertumbuhannya 5,9%. Perkembangan tersebut terutama didorong oleh pertumbuhan uang kuasi sebesar 8,4%.
Selanjutnya pada November 2023 ini akan terdapat agenda rilis Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), neraca perdagangan Indonesia termasuk angka ekspor dan impor, juga pengumuman penjualan ritel. Termasuk akan ada pengumuman dari Bank Indonesia terkait transaksi berjalan.
Adapun jika dibandingkan dengan indeks regional, atau rekan-rekannya di Asia, tercatat Hang Seng Index Hong Kong juga mencatatkan penguatan 6,49%. Senada, indeks Korea Stock Exchange atau KOSPI tercatat menguat 4,24%, Straits Times Index Singapore juga terapresiasi 3,88%, dan indeks Nikkei 225 Tokyo Stock Exchange naik 3,26%.
Jika mencermati lebih lanjut, kenaikan tertinggi terjadi pada Hang Seng Index Hong Kong dengan penguatan mencapai 6,49% pada rata-rata perdagangan saham dalam 5 tahun terakhirnya.
Adapun pada kala itu, tepatnya November 2022 Hang Seng Index Hong Kong mencatatkan kenaikan mencapai 26,62%, efek secara langsung dari meningkatnya optimisme terhadap pelonggaran kebijakan zero-Covid dan tersiarnya kabar di pasar terkait dengan pembukaan kembali perekonomian setempat yang jadi sentimen utama.
Indeks saham Singapore juga berhasil menguat, terlebih pada November 2022 dengan kenaikan 6,38%. Bersamaan dengan sentimen pasar tenaga kerja Singapura yang menunjukkan perbaikan ke arah ekspansif, di mana pada kuartal III-2022 kala itu, jumlah lapangan kerja mencapai 75.600.
Capaian itu naik dibandingkan kuartalan sebelumnya yang hanya 66.500 pekerjaan. Kementerian Tenaga Kerja (MOM) setempat menyatakan total lapangan kerja saat itu lebih tinggi 1,7% dibandingkan dengan saat pra-pandemi.
(fad/ezr)