Lebih lanjut, dalam analisis komparasi Indonesia dengan negara lain memperlihatkan, Indonesia belum memenuhi syarat perlu dan syarat cukup untuk menuju negara berpendapatan tinggi layaknya China, Malaysia, Korea Selatan, Thailand juga Brasil ketika mereka pertama kali masuk di jajaran Upper Midle Income.
"Pertumbuhan ekonomi di periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi bersifat inklusif, sedangkan pertumbuhan ekonomi di periode kedua bersifat non-inklusif dimana manfaat pembangunan paling banyak dirasakan oleh 20% kelompok terbawah serta 10% kelompok teratas, tetapi kelompok kelas menengah (40-80%) seperti terlupakan," lanjut Teguh Dartanto dan Canyon Keanu Can dalam kajian yang sama.
Para akademisi dan ekonom menilai, narasi keberlanjutan tanpa inovasi out of the box tehadap kebijakan pembangunan pemerintahan saat ini sebaiknya dikaji ulang, karena akan menjauhkan mimpi Indonesia Emas 2045. "Pemerintah harus fokus pada pengembangan kelas menengah yang kuat dan inovatif karena mereka adalah motor utama pembangunan jangka panjang," demikian hasil kajian menyebutkan.
Pemerintahan di bawah presiden baru mendatang disarankan oleh para ekonom dan akademisi agar fokus mengentaskan kemiskinan, menurunkan ketimpangan, mendorong kesetaraan kesempatan dan membangun kelas menengah yang kuat, resilien dan inovatif.
Kebijakan extra ordinary di bidang pendidikan mendesak dimunculkan. "Kesetaraan kesempatan terhadap akses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, pekerjaan sektor formal, infrastruktur dasar, dan jaminan sosial menyeluruh dan adaptif merupakan modal utama dan satu-satunya untuk mewujudkan mimpi Indonesia Emas 2045."
Berdasarkan kajian atas Growth Incidence Curve yang memberikan gambaran pertumbuhan kesejahteraan masing-masing kelompok pendapatan di Indonesia selama periode 2000-2022, memperlihatkan, pembangunan ekonomi RI hanya berat pada kelompok kaya.
Periode Presiden Megawati Soekarnoputri 2000-2004, GIC memiliki kemiringan positif di mana kelompok terkaya mengalami pertumbuhan ekonomi atau kesejahteraan dua kali lebih besar dibandingkan kelompok termiskin.
Sementara pada periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode pertama juga menunjukkan pola senada akan tetapi dengan pertimbuhan lebih rendah. Sedang pada periode kedua era SBY, menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang sanga tidak inklusif di mana kesejahteraan kelompok terkaya mencapai lebih dari 8% per tahun, tumbuh empat kali lipat lebih cepat dibanding kesejahteraan kelompok termiskin yang hanya 2% per tahun.
Bagaimana dengan era Jokowi?
Peneliti UI mencatat, pertumbuhan ekonomi pada masa periode pertama Jokowi, kelas menengah menikmati pertumbuhan ekonomi lebih besar dibandingkan dengan kelompok termiskin dan terkaya sehingga Gini Ratio bisa diturunkan jadi 0,380 pada 2019.
Akan tetapi, pada periode kedua era Jokowi, pertumbuhan ekonomi tidak lagi inklusif di mana manfaat dari kebijakan atau program pemerintah terfokus hanya pada 20% kelompok terbawah dan 10% kelompok teratas. Pada saat yang sama, kelompok kelas menengah yang proporsinya mencapai 40%-80% dilupakan, demikian ditulis oleh peneliti. Bahkan, kelompok 60%-80% mengalami pertumbuhan ekonomi negatif.
"Melihat pola GIC, maka narasi keberlanjutan para calon presiden harus dipikirkan ulang. Melanjutkan berbagai kebijakan Presiden Jokowi periode kedua tanpa ada inovasi kebijakan yang bersifat out of the box akan menjauhkan mimpi Indonesia Emas 2045 karena pemerintah melupakan kelas menengah yang merupakan motor penggerak pembangunan pada jangka panjang," demikian disimpulkan oleh peneliti dalam kajian setebal 247 halaman tersebut.
(rui/aji)