Pelemahan rupiah bulan lalu kebanyakan memang ditekan oleh sentimen eksternal terutama dari Amerika yang telah membawa dolar AS kian perkasa melawan hampir semua valuta di dunia. Arah bunga acuan Federal Reserve yang masih menjadi tanda tanya dan semakin mendekati level bunga acuan RI, mempersempit selisih imbal hasil investasi dua negara ke level tersempit di bawah 200 bps.
Selisih yield yang menyempit itu memicu arus keluar modal asing di mana selama Oktober lalu posisi kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) berkurang sedikitnya Rp13,66 triliun. Posisi beli bersih asing di SBN sepanjang 2023 juga sudah banyak berkurang, tinggal Rp40-an triliun, dari posisi Rp70-an triliun pada Juni lalu. Arus keluar modal asing dari pasar saham juga tidak kecil, sedikitnya mencapai Rp11 triliun sepanjang tahun ini. Sedangkan instrumen baru BI, yaitu Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) mencatat beli bersih di kisaran Rp11 triliun juga.
Pelemahan rupiah sedikit tertolong oleh langkah mengejutkan Bank Indonesia menaikkan bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur bulan lalu ke 6%. Meski tidak bertahan lama efeknya, akan tetapi sinyal hawkish BI sedikit meredakan kecemasan pelaku pasar dengan harapan selisih imbal hasil antara RI dengan Amerika bisa kembali melebar.
Selain faktor arah bunga acuan global, eskalasi konflik di Timur Tengah juga membuat pamor dolar AS sebagai safe haven semakin menjulang. Dolar AS jadi buruan investor yang khawatir eskalasi di Gaza akan meluas menyeret negara-negara penghasil minyak utama seperti Iran. Alhasil, valuta yang menjadi lawan dolar AS pun jadi semakin terpuruk termasuk rupiah. Dari dalam negeri, rupiah juga semakin terbebani ketidakpastian politik dalam negeri sejurus dengan semakin dekatnya jadwal Pemilu dan Pilpres 2024.
Prediksi November
Arah bunga acuan global masih akan menjadi penyetir utama pergerakan rupiah bulan ini. Itu terlihat dari pergerakan rupiah mengawali November.
Rupiah di pasar spot sampai jelang siang ini terlempar ke level terlemah baru di Rp15.950/US$, jelang pengumuman hasil pertemuan Federal Open Meeting Committe the Fed dini hari nanti. Arah bunga acuan global masih akan menjadi penyetir utama pergerakan rupiah bulan ini. Pelemahan rupiah tak sendiri karena mayoritas valuta Asia sampai jelang siang ini juga melemah menghadapi the greenback.
Data-data ekonomi AS akan menjadi penyetir pergerakan rupiah.
Keputusan pemerintah AS yang berniat menerbitkan utang lagi senilai US$816 miliar melalui lelang Treasury pada kuartal I-2024, juga menjadi perhatian pasar. Pasalnya angka itu lebih tinggi dibandingkan perkiraan pasar yang memprediksi nilai emisi utang baru AS sebesar US$700 miliar dan target lelang Treasury pada kuartal akhir tahun ini sebesar US$776 miliar.
Rencana penambahan pasokan surat utang di pasar, mengerek yield Treasury hingga semakin mendekati 5% lagi. Alhasil, selisih imbal hasil dengan RI semakin sempit di mana pagi ini terpantau di kisaran 214 bps.
Bila imbal hasil Treasury masih akan bergerak naik melampaui 5%, sementara kecepatan kenaikan yield SBN tidak bisa mengimbangi, sempitnya spread yield akan memantik lebih banyak lagi dana asing keluar dari pasar domestik. Aset rupiah dinilai tidak menarik karena pemodal secara alamiah akan lebih memilih kelas aset dengan peringkat kredit lebih bagus seperti US Treasury.
"Puncak yield US Treasury saat ini di 5% bersifat kondisional. Pasar masih akan mencermati kemungkinan kenaikan bunga the Fed pada Desember sebagai benchmark menentukan titik puncak yield Treasury 10 tahun," jelas Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas dalam catatan pada klien.
Pertumbuhan ekonomi AS yang kuat pada kuartal III-2023 di angka 4,9% bisa mendorong Produk Domestik Bruto Amerika tahun ini lebih tinggi dari target the Fed di 2,1%. Itu membuka peluang bagi the Fed melanjutkan pengetatan moneter lebih lama.
Kepastian bunga acuan the Fed naik atau tidak pada Desember nanti akan sangat bergantung pada data pengangguran AS pada Oktober dan November. "Bila tingkat pengangguran naik jadi 3,9% atau lebih tinggi lagi, the Fed dipastikan tidak akan menaikkan bunga acuan pada Desember," kata Lionel.
Sejauh ini, pelaku pasar swap masih mempertahankan prediksi the Fed akan menahan bunga acuan di posisi saat ini sampai akhir tahun dengan probabilitas kenaikan pada Desember hanya 29%. Sementara siklus pemangkasan bunga the Fed diprediksi dimulai pada kuartal II-2024 dengan total pemangkasan sebanyak 75 bps menjadi 4,75%.
BI7DRR naik lagi
Namun, rupiah bulan ini mungkin akan bisa sedikit bergerak lega menjauhi level psikologis di dekat Rp16.000/US$ bila Bank Indonesia kembali mengerek bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) berikutnya.
Kenaikan BI7DRR ke 6,25%, misalnya, bisa membawa tingkat imbal hasil SBN naik mendekati 7,3% bahkan ke 7,5%. Yield yang melejit akan memperlebar jarak dengan tingkat imbal hasil AS yang sudah di dekat 5%.
"Bila suku bunga naik lagi, rupiah bisa lebih stabil, kemungkinan ke Rp15.600-Rp15.800/US$," jelas Lionel.
BI sudah melempar sinyal kenaikan bunga acuan lagi, terindikasi dari kenaikan bunga diskonto instrumen Sertifikat Rupiah Bank Indonesia dalam lelang pekan lalu. Tingkat bunga SRBI sudah di posisi 6,97%, naik terus secara cepat hanya dalam dua pekan, memperlihatkan ekspektasi bunga acuan dalam jangka pendek.
Bank Indonesia dalam pernyataan terakhir, tidak menutup kemungkinan untuk kembali menaikkan suku bunga acuan dalam rapat tambahan di luar jadwal (out-of-cycle). Langkah tersebut sudah ditempuh oleh Bank Sentral Filipina pekan lalu.
“Sebagai sebuah kemungkinan, itu ada walau sangat kecil. Namun sejauh ini, respons kebijakan yang ditempuh dalam RDG terakhir sudah memadai,” kata Erwin Haryono, Juru Bicara BI, setelah BSP menaikkan suku bunga acuan 25 bps dalam rapat di luar jadwal, menyusul inflasi negeri itu yang melesat.
"Bila suku bunga naik lagi, rupiah bisa lebih stabil, kemungkinan ke Rp15.600-Rp15.800/US$,"
Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas Indonesia
“Jika rupiah terus melemah, maka kami meyakini ada kemungkinan BI akan menaikkan suku bunga dalam rapat di luar jadwal. Ini pernah terjadi pada Agustus 2013 dan Mei 2018,” sebut riset Bahana yang ditulis oleh Satria Sambijantoro dan Drewya Cinantyan.
Kenaikan suku bunga lebih lanjut, sebut riset itu, dibutuhkan jika intervensi BI di pasar sudah dipandang tidak sustainable.
Bulan ini, BI juga akan memulai menggelar lelang instrumen baru yaitu Sertifikat Valas Bank Indonesia (SVBI) yang memiliki karakteristik mirip SRBI, hanya saja dalam denominasi valas. Upaya itu diharap bank sentral bisa memperbanyak amunisi rupiah menghadapi tekanan eksternal, dengan menarik dana asing masuk ke instrumen jangka pendek.
(rui)