Bloomberg Technoz, Jakarta - Narasi yang digunakan PDIP soal ditinggalkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kian kencang. Belakangan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam pernyataannya juga menggunakan istilah yang emosional dengan menyebut kesedihan.
Hal itu dia tautkan menyangkut ketidaktaatan politik Gibran Rakabuming Raka yang menjadi bakal cawapres hingga rekayasa hukum yang menurut PDIP terjadi di putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 'karpet merah' Gibran.
"PDI Perjuangan saat ini dalam suasana sedih, luka hati yang perih, dan berpasrah pada Tuhan dan Rakyat Indonesia atas apa yang terjadi saat ini. Ketika DPP Partai bertemu dengan jajaran anak ranting dan ranting sebagai struktur Partai paling bawah, banyak yang tidak percaya bahwa ini bisa terjadi. Kami begitu mencintai dan memberikan privilege yang begitu besar kepada Presiden Jokowi dan keluarga, namun kami ditinggalkan karena masih ada permintaan lain yang berpotensi melanggar pranatan kebaikan dan Konstitusi. Pada awalnya kami hanya berdoa agar hal tersebut tidak terjadi, namun ternyata itu benar-benar terjadi," hal ini disampaikan Hasto melalui keterangan kepada media pada Minggu (29/10/2023).
Narasi bagai terzalimi itu dikomentari oleh pengamat politik dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Agus Riewanto. Menurutnya, ekspresi yang disampaikan PDIP cukup wajar mengingat partai itu cukup membesarkan nama Jokowi. Tak hanya Jokowi, anaknya yakni Gibran Rakabuming dan menantunya Bobby Nasution juga maju di pilkada dengan "kendaraan" PDIP.
"Jadi wajar kalau ada pernyataan PDIP demikian yang sakit hati, tidak bisa balas budi dan soal Jokowi tiga periode yang mengambil jalan meng-endorse putranya dan sebagainya, jadi itu wajar-wajar saja menurut saya," kata Agus saat dihubungi pada Senin (30/10/2023).
Jelas kata dia, saat ini sedang terjadi perang urat saraf antara PDIP dengan Jokowi dan keluarganya. Namun respons publik terhadap PDIP belum dipastikan apakah bakal membawa efek positif atau negatif ke partai itu. Jokowi sendiri tak merespons terbuka, tidak membantah atau membenarkan semua tuduhan PDIP.
Namun soal narasi terzalimi imbuhnya, belum tentu mempan karena zaman bisa berubah. Dia mencontohkan memang pada masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan maju pilpres pada 2009 yang menempatkan diri sebagai yang terzalimi sehingga mendapat simpati publik. Namun hal tersebut belum tentu "ampuh" pada saat sekarang.
"Belum tentu juga cara yang digunakan SBY itu bisa digunakan di era sekarang karena momen yang berbeda. Orang yang berbeda, tokohnya berbeda. Jadi enggak bisa satu peristiwa itu direplikasi kembali ke dalam rezim atau zaman yang berbeda. Ini menurut saya konteksnya sudah berbeda," kata dia lagi.
Dia melanjutkan manuver politik termasuk gaya terzalimi bisa digunakan oleh masing-masing capres dan kubunya untuk merebut suara "kue" undecided voters. Sebab, kalau pemilih atau pendukung loyal, apapun isunya atau gaya politik parpol pengusung, terzalimi atau tidak, maka tak akan berpengaruh.
PDIP yang menang pemilu dua kali tetapi seperti tak ingin menyiakan-nyiakan pemilih yang belum menentukan pilihan atau undecided voters itu. Namun sebenarnya prediksi pengamat ini, jumlah undecided voters tak begitu besar. Oleh karena itu lebih baik parpol dan para kubu memelihara pemilih loyal.
"Jadi kalau hal itu mau digunakan lagi, efektivitasnya sudah berbeda ya. Jadi lebih baik memelihara massa loyalis itu karena kalau pemilih loyalis itu pergi maka bahaya," tutupnya.
(ezr)