Logo Bloomberg Technoz

Ekspektasi suku bunga tinggi membuat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS melonjak. Untuk tenor 10 tahun, yield sempat menyentuh 5% belum lama ini, sesuatu yang belum pernah terjadi sejak 2007.

“Kondisi ini mendorong meningkatnya sell-off di pasar, sejalan dengan ekspektasi suku bunga higher for longer,” kata Mahendra, kemarin.

Tingginya yield obligasi pemerintah AS membuat investor ramai-ramai menyerbu pasar keuangan Negeri Adikuasa dan meninggalkan pasar negara berkembang. Indonesia tidak terkecuali.

Di pasar Surat Berharga Negara (SBN), kepemilikan investor asing per 27 Oktober tercatat Rp 808,95 triliun. Pada awal bulan ini, nilainya masih Rp 824,64 triliun.

Di pasar saham, investor asing bahkan sudah membukukan jual bersih (net sell) Rp 11,98 triliun sepanjang 2023 hingga 30 Oktober. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membukukan koreksi 1,67% secara year-to-date (ytd).

China Juga Bermasalah

Tidak hanya AS, China juga memberikan risiko bagi perekonomian dunia. Data terkini menunjukkan perlambatan ekonomi Negeri Tirai Bambu adalah hal yang nyata.

Teranyar, aktivitas manufaktur yang dicerminkan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) China pada Oktober tercatat 49,5. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,2.

PMI di bawah 50 menunjukkan sektor manufaktur berada di zona kontraksi, bukan ekspansi.

Masalahnya, China adalah perekonomian terbesar kedua di dunia dan nomor 1 Asia. Banyak negara yang menjadikan China sebagai mitra dagang utama, termasuk Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor non-migas Indonesia ke China pada Januari-September bernilai US$ 45,39 miliar. Angka ini setara dengan 25,25% dari total ekspor non-migas, atau sekitar seperempat.

Perlambatan ekonomi berarti permintaan China pun berkurang. Pada September, ekspor non-migas Indonesia ke China turun 3,69% dibandingkan bulan sebelumnya.

Dengan porsinya yang signifikan, penurunan permintaan China membuat ekspor Indonesia secara keseluruhan menyusut. Ekspor non-migas pada September turun 6,41% dibandingkan bulan sebelumnya. Sepanjang Januari-September, ekspor non-migas berkurang 12,89% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Kelesuan Ekonomi Domestik

Tidak hanya di luar negeri, data ekonomi domestik pun kurang meyakinkan. "Ini tercermin dari Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) dan kinerja penjualan ritel yang rendah," kaat Mahendra.

Bank Indonesia (BI) melaporkan, IKK pada September berada di 121,7. IKK menggunakan angka 100 sebagai titik mula. Jika di atas 100, maka artinya konsumen masih optimistis memandang perekonomian saat ini hingga 6 bulan mendatang.

Akan tetapi, IKK September turun cukup tajam dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 125,2. IKK September menjadi yang terendah sejak Desember tahun lalu alias 9 bulan terakhir.

Kemudian pada Agustus, penjualan ritel yang dicerminkan dengan Indeks Penjualan Riil (IPR) ada di 204,1. Naik 1,1% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Meski tumbuh, ini adalah yang terendah sejak Mei atau 3 bulan terakhir.

Untuk September, IPR diperkirakan sebesar 200,2. Tumbuh sebesar 1% yoy. Jika terwujud, maka akan menjadi yang terlemah dalam 4 bulan.

Dua data tersebut menggambarkan mengenai prospek konsumsi rumah tangga, yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari separuh dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran.

Kelesuan daya beli ini tentu pada akhirnya akan berpengaruh terhadap angka pertumbuhan ekonomi. Capaian pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang 5,31% sepertinya sulit terulang tahun ini.

Konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg yang melibatkan 43 institusi memperkirakan ekonomi Tanah Air tumbuh 5% tahun ini. Sedangkan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan lebih rendah di 4,7%.

“Ketergantungan Indonesia akan harga komoditas dan pasar keuangan global membuatnya rentan terhadap dinamika eksternal. Meskipun ada perbaikan fundamental, tekanan di pasar masih akan menyebabkan syok di perekonomian seperti tahun-tahun sebelumnya,” sebut laporan OECD.

(aji)

No more pages