Pemerintah, kata Abdul, bisa memeriksa dengan pasti perihal jumlah produksi di masing-masing daerah dan mengalihkannya ke daerah yang minus dalam produksi cabai rawit merah. Terlebih, penyebab utama dari persoalan ini ada pada produksi, bukan pada distribusi ataupun penimbunan.
Abdul sendiri menilai, permasalahan produksi setidaknya disebabkan oleh dua hal yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, yakni musim kemarau dan kemampuan petani cabai rawit merah yang rendah.
Musim kemarau membuat daerah-daerah sentra cabai rawit mengalami kekeringan yang menyebabkan pertumbuhan tingkat penyakit akibat adanya virus.
“Kalau Juli, Agustus, September, Oktober, mestinya sekarang mulai panen. Nah cabai rawitnya sedikit sekali yg panen. Kita lihat, mapping, beberapa daerah sentra cabai rawit itu masalahnya kering dan penyakit, virusnya banyak,” ujarnya.
Kondisi ini, makin diperparah dengan kemampuan petani cabai rawit merah yang rendah. Menurutnya, hanya 30% dari total keseluruhan petani cabai rawit merah di Indonesia yang memiliki kemampuan yang mumpuni, sementara 70% sisanya masih menanam komoditas tersebut secara asal.
Akibat adanya permasalahan pada produksi, Abdul bahkan menemukan harga cabai rawit merah di Pasar Agung, Depok, Jawa Barat, yang telah mencapai Rp100 ribu per kg dan harga di Pasar Kemiri muka yang mencapai Rp90 ribu—Rp95 ribu per kg, berdasarkan pantauan asosiasi pada Minggu (29/10/2023).
Dengan kondisi ini, Abdul memprediksi kenaikan harga cabai rawit merah akan terjadi hingga Natal dan Tahun Baru 2023. Menurutnya, kenaikan itu bisa mencapai dua kali lipat dari harga normal yang berada pada kisaran Rp40 ribu—Rp60 ribu per kg.
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Startegis (PIHPS) Bank Indonesia, rerata harga nasional cabai merah besar per Senin (30/10/2023) adalah Rp47.900 per kg, sedangkan cabai merah keriting Rp55.600 per kg, cabai rawit hijau Rp54.600 per kg.
Harga termahal adalah cabai rawit merah yang mencapai Rp73.800 per kg.
(dov/wdh)