Porsi kepemilikan sahamnya pun dibatasi dan perusahaan logistik asing hanya diperbolehkan memiliki maksimal 49% saham JV tersebut.
Alih-alih membentuk JV, J&T Global justru 'meminjam nama' dengan membuat serangkaian perjanjian atau contractual arrangements bersama sejumlah entitas lokal. Perjanjian ini yang menjadi alat J&T Global mengendalikan sekaligus mendapat keuntungan ekonomi dari operasional PT Global Jet Express (J&T Indonesia).
Sumber tersebut belum bersedia mengungkapkan pembahasan yang tengah dibicarakan hingga langkah lebih lanjut terkait kontroversi tersebut. "Sementara, hanya itu yang bisa kami sampaikan," imbuhnya.
Menteri Kominfo, Budi Arie Setiadi juga menolak berkomentar terkait kontroversi J&T.
Lakukan Pertemuan
J&T Global sendiri sejatinya sempat menemui pihak Kominfo dan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pertemuan dilakukan untuk berkonsultasi soal aspek legalitas bisnis logistik di Indonesia.
Pertemuan konsultasi dilakukan pada Januari 2022. Pihak Kominfo dan BKPM kemudian mengonfirmasi sejumlah hal.
Pertama, investor asing yang bukan Operator Pos Asing tidak dapat memegang kepemilikan saham dalam Perusahaan Jasa Pos Indonesia.
Kedua, dalam keadaan tertentu, Operator Pos Asing dapat memegang kepemilikan saham dalam Perusahaan Jasa Pos dengan membentuk JV dengan perusahaan domestik Indonesia sesuai dengan Persyaratan Kemitraan.
Ketiga, operator Pos Asing hanya dapat memperoleh saham dalam perusahaan patungan baru untuk terlibat dalam Jasa Pos, dan tidak boleh berlangganan atau membeli saham dalam Perusahaan Jasa Pos Indonesia domestik yang sudah ada dengan jangkauan nasional.
Keempat, ketika semua kondisi di bawah Persyaratan Kemitraan terpenuhi, Operator Pos Asing dapat memegang hingga 49% kepemilikan saham dalam entitas patungan yang menyediakan layanan kurir KBLI 53201.
Dari situasi itu, inisiatif untuk membuat serangkaian contractual arrangements lahir. Perjanjian ini menjadi kekuatan J&T Global mengendalikan sekaligus mendapat manfaat ekonomi dari PT Global Jet Express (J&T Indonesia).
J&T Global juga sempat meminta konfirmasi terkait contractual arrangements tersebut. Dalam prospektus kemudian dijelaskan, pihak Kominfo dan BKPM mengonfirmasi jika contractual arrangements ada di ranah hukum privat di Indonesia.
Sehingga, Kominfo tidak mengatur, mengawasi, atau campur tangan dalam penggunaan atau sengketa mengenai legalitas atau pemberlakuan contractual arrangements.
BKPM juga menjelaskan jika lembaganya hanya akan mengawasi apakah perusahaan menjalankan bisnis sesuai dengan lisensi mereka. BKPM tidak mengawasi, dan tidak akan campur tangan dalam pengaturan bisnis yang diadopsi oleh pihak-pihak swasta atau perjanjian yang dieksekusi secara pribadi.
J&T Global kemudian berkesimpulan, dari hasil konsultasi itu pada dasarnya memungkinkan J&T Global, sebagai investor asing, untuk secara tidak langsung mengendalikan perusahaan Indonesia yang terlibat dalam Jasa Pos.
Setelah melakukan kajian dan diligensia yang memadai, Penasihat Hukum J&T Global di Indonesia berpendapat bahwa pengadopsian contractual arrangements oleh J&T kemungkinan besar tidak akan dianggap tidak efektif atau tidak sah berdasarkan hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Selain itu, penasihat hukum berpendapat bahwa contractual arrangements hanya digunakan sejauh yang diperlukan sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia, untuk mengatasi pembatasan atau batasan kepemilikan saham asing yang relevan, dan telah dirancang dengan cermat untuk meminimalisir potensi konflik dengan hukum dan peraturan yang relevan dan memungkinkan Grup untuk mencapai kendali entitas yang terlibat dalam layanan pos di Indonesia.
(mfd/dhf)