Logo Bloomberg Technoz

Bahkan tidak sedikit kasus bunuh diri yang muncul, disinyalir terpicu oleh persoalan terkait utang pinjol. 

Namun, kendati sudah banyak permasalahan yang mengiringi kehadiran pinjol di Tanah Air beberapa tahun terakhir, pengetatan industri pinjaman online ini terlihat stagnan. Regulator terlihat masih memilih pendekatan persuasif agar masyarakat yang menjadi obyek sasaran produk pinjol, agar lebih berhati-hati dan meningkatkan literasi keuangan. 

"Yang penting berkembang dan bertanggung jawab, jadi misalnya dia [perusahaan paylater] jualan ke anak-anak muda supaya konsumtif itu kami akan lihatin. Jadi nggak boleh kayak gitu. [Tetap akan] berkembang tapi bertanggung jawab,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi, beberapa waktu lalu.

Menurut Friderica lebih penting untuk memberi pemahaman kepada masyarakat terkait risiko dan manfaat pembiayaan paylater. Alih-alih melarang tawaran-tawaran pinjol yang semakin meresahkan dari hari ke hari.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)

Persoalannya, membiarkan paparan tawaran pinjol semakin massif di tengah literasi finansial masyarakat yang masih rendah dan tingkat kemiskinan yang masih tinggi, juga ketimpangan sosial yang lebar, bisa menjadi bumerang yang mengancam kualitas keuangan masyarakat bahkan bisa menjerumuskan kemiskinan-kemiskinan baru akibat utang.

Paparan iklan tawaran pinjol yang begitu masif menyusup ke hampir semua ruang terutama media sosial, akhirnya mengemuka seperti 'jebakan' yang setiap saat bisa menjerat konsumen yang 'kepepet' kebutuhan dana dan kalangan dengan literasi finansial belum memadai dalam mencerna risiko di balik pinjol.

Hasil studi yang dimuat dalam Journal of Development Economic and Social Studies pada Februari 2023 lalu, bertajuk "Tren pinjaman online dalam milenial: Telaah kontributor internal dan eksternal", mencatat, keputusan mengajukan pinjol kebanyakan didorong oleh tiga faktor internal yaitu kemudahan mengakses yakni hanya lewat aplikasi di ponsel. Kemudian, terdesak kebutuhan seperti untuk pengeluaran darurat yang tidak bisa ditutup dengan pendapatan, untuk melunasi utang lain yang jatuh tempo, bahkan untuk keperluan biaya sekolah dan berobat.

Juga, dorongan gaya hidup di mana utang pinjol disasar untuk menutup pengeluaran skincare, pembelian gadget bahkan untuk liburan.

Sementara faktor eksternal yang banyak mendorong orang terjerat pinjol adalah godaan iklan atau promosi layanan pinjol di media sosial. "Media sosial mempunyai pengaruh besar pada keputusan seseorang untuk meminjam secara online, di mana seseorang memiliki kecenderungan untuk tertarik dengan hal baru yang pada bersamaan diiringi dengan kebutuhan akan pinjaman," tulis Bagus Perdana Rahmadyanto dan Marlina Ekawaty dari Universitas Brawijaya.

Perlu Pengetatan

Mengacu pada hasil riset yang digelar peneliti di China "The rise of digital finance: Financial inclusion or debt trap?" yang dimuat dalam Finance Research Letters Volume 47 pada Juni 2022, mencatat,  perluasan akses terhadap keuangan digital memang meningkatkan partisipasi pasar kredit. Akses yang lebih luas terhadap pasar kredit juga mengerek konsumsi rumah tangga dengan perubahan kecenderungan konsumsi kaum marjinal.

Namun, kemudahan akses itu juga meningkatkan risiko rumah tangga terjebak perangkap utang dan kesulitan keuangan lebih besar.

"Penelitan menunjukkan bahwa literasi keuangan rumah tangga di Tiongkok rendah dan rumah tangga yang buta finansial tidak menyadarai konsekuensi dari pilihan mereka terhadap utang," demikian ditulis oleh riset tersebut.

Maka itu, para pembuat kebijakan perlu membekali masyarakat dengan literasi keuangan digital yang tepat. Hanya, perlu dicatat bahwa peningkatan literasi keuangan saja tidak cukup untuk mencegah persoalan yang timbul akibat pinjaman online.

Hasil riset yang lain juga menyebut, ada hubungan erat antara kurangnya pengendalian diri dan buta huruf finansial dengan tidak terbayarnya pinjaman dan laporan terkait beban utang yang berlebihan.

"Sehingga, meskipun literasi keuangan dapat ditingkatkan melalui pendidikan keuangan, individu tidak dapat dididik mengenai pengendalian diri. Maka itu, pembuat kebijakan perlu membatasi kredit yang tersedia dengan melakukan pengendalian berdasarkan tujuan pinjaman," demikian saran dari hasil riset.

Indonesia memiliki profil mirip dengan China di mana tingkat literasi finansial masih rendah yaitu di bawah 50% di tengah penetrasi internet yang terus meningkat, hampir 80% dari total populasi.

Gempuran iklan pinjol di media sosial pun tidak ada batasan sejauh ini. Diksi "dana cepat", "uang tunai instan", "dana tunai langsung cair", dan lain-lain menjadi kata kunci yang terus didengungkan lewat iklan-iklan di media sosial seperti Youtube, Twitter atau X, Facebook juga Google Ads. 

Iklan-iklan pinjol itu dengan mudah menghampir masyarakat, menjaring nasabah dengan tagline cenderung 'menyesatkan' dengan iming-iming "bunga murah 1% per hari". 

Bunga 1% per hari atau 30% per bulan, setara 360% per tahun, tentu saja bukan harga yang murah untuk sebuah pinjaman. Sebagai perbandingan, bunga kartu kredit saja yang sejauh ini tertinggi di antara jenis kredit di perbankan, masih di bawah 25% per tahun. 

Namun, literasi yang belum merata dan masih rendah, disebut oleh OJK indeks literasi finansial RI masih di bawah 50%, membuat iming-iming berbahaya itu disangka murah.

Pengamat dari Centre of Economic and Law Studies Bhima Yudistira menilai, regulasi pinjol yang ada sejauh ini terlalu lunak. “Sepertinya ada yang berlindung di balik inovasi keuangan digital, jadi seolah perlindungan konsumen kerap dinomorduakan. Akibatnya pemain pinjol menetapkan bunga dan biaya layanan tergantung kesepakatan, tidak diatur secara eksplisit dalam aturan OJK,” kata Bhima.

Terakhir, Komisi Pengawas Persaingan Usaha tengah menelusuri dugaan pengaturan atau kartel penetapan suku bunga pinjaman yang dilakukan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). KPPU sudah membentuk satuan tugas atau satgas untuk memeriksa dugaan kartel tersebut hingga 14 hari kerja ke depan.

"Masih dalam pemeriksaan. Nanti akan ditentukan apa dugaan kartelnya dan pasal yang disangkakan," kata Kepala Biro Humas dan Kerja Sama KPPU, Deswin Nur, Jumat (6/10/2023).

KPPU menemukan indikasi Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama (AFPI) sebagai asosiasi mengatur seluruh anggotanya untuk menetapkan suku bunga flat sebesar 0,8% per hari. "Soal angka ini masih temuan awal. Apakah 0,8% atau 0,4% atau lainnya itu nanti diperiksa lagi. Yang jadi masalah itu soal penetapan bersamanya sebesar itu oleh asosiasi," jelas Deswin.

KPPU menyatakan, setiap perusahaan di tubuh AFPI seharusnya saling bersaing dalam menawarkan jasa fintech, termasuk penetapan suku bunga yang seharusnya kompetitif dan menjadi daya tarik bagi konsumen.

-- dengan bantuan Mis Fransiska Dewi dan Francisco RE Geken. 

(rui/aji)

No more pages