Logo Bloomberg Technoz

Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto menjelaskan, pengusaha memiliki naluri untuk mencari celah dalam setiap peraturan. Justru, celah atau loop hole ini yang tak jarang membuat perusahaan cepat berekspansi.

"Pengusaha selalu mencari loop hole. Jika di situ memang ada celah yang bisa ditembus, maka ada yang salah [dengan peraturan itu]," jelas Mahendra kepada Bloomberg Technoz, dikutip Senin (30/10/2023).

Setali tiga uang, Sonny Harsono, Ketua Asosiasi Pengusaha Logistik E-commerce (APLE) menilai, kontroversi J&T Global muncul akibat masih lemahnya pengawasan lembaga terkait, dalam hal ini Direktorat Jendral Pos dan Telekomunikasi (Dirjen Postel), yang berada di bawah Kominfo.

"Pintu pertama ada di Dirjen Postel. Izin pertama keluar dari sini, tapi mereka, kan, hanya melihat ini PT A, PT B dan seterusnya, bukan ultimate beneficial owner. Mereka tidak melihat lebih dalam lagi, hanya formalitas pengecekannya," jelas Sonny.

Mahendra menambahkan lolosnya praktek J&T Global juga akibat tidak ada pengawasan  terpusat yang secara khusus mengawasi industri logistik. Setiap lembaga bahkan memiliki aturan masing-masing.

"Mereka [perusahaan logistik asing] kita undang sebagai investor. Kita jeli nggak memonitor dia benar-benar masuk investasi di sini, beli aset di sini, dan memperkerjakan banyak orang di sini. Kan, itu tujuannya," jelas Mahendra.

"Itu siapa yang mengawasi? BKPM? Atau Kominfo? Atau diserahkan ke asosiasi? Nggak jelas. Tidak ada perizinan yang lengkap dalam satu badan atau kementerian yang mengatur itu. Katakanlah yang benar itu aturannya di Kominfo, tapi pengelolaan gudangnya di Kementerian Perdagangan," sambung Mahendra.

Pangsa Pasar Direbut hingga Jadi Preseden Buruk

Sonny tak menampik bahwa keberadaan J&T Indonesia mampu menyerap banyak tenaga kerja.

"Secara praktik di lapangan tidak ada yang dilanggar. Tapi secara perizinan, jelas ini merupakan kesalahan besar dan sangat kami sayangkan," tutur Sonny.

Isu ini pun kemudian menjalar kepada persoalan keadilan dan persaingan yang sehat dalam industri logistik.

Sonny menceritakan, dia ingat betul tidak ada platform e-commerce yang menggunakan jasa J&T sampai 2019. Barulah setelah periode ini, jasa J&T Indonesia banyak digunakan.

J&T Indonesia sendiri lahir pada 2015 dan hanya butuh sekitar delapan tahun bagi J&T untuk merebut pangsa pasar JNE yang sudah berusia 33 tahun. Sebelum ada J&T Indonesia, JNE mendominasi pangsa pasar.

Salah satu kunci sukses J&T adalah, otomatisasi di pergudangan dan sorting center perusahaan. Strategi ini membuat biaya operasional turun sehingga J&T Indonesia mampu menekan ongkos kirim menjadi lebih murah yang menarik minat konsumen.

"Di satu sisi, perusahaan logistik lokal kurang adaptif dengan perkembangan teknologi. Di sisi lain, perusahaan asing seperti DHL dan Fedex benar-benar mengikuti aturan yang berlaku. Kami sendiri kaget ketika mendengar J&T Global melakukan praktik nominee," jelas Sonny.

Ia berharap, reformasi peraturan dan pengawasan dilakukan segera karena kelak akan ada perusahaan logistik asing lain yang masuk ke Indonesia dan tidak menutup kemungkinan mereka meniru model yang dilakukan oleh J&T Global ini.

(dhf/wep)

No more pages