Banyaknya pecinta barang bekas kini menjadi lahan pencarian bagi para penjual. Kini makin ramainya penjual barang bekas di media sosial seperti Instagram, tidak lagi hanya bisa ditemukan di pasar-pasar tertentu seperti Pasar Senen, Pasar Baru di Jakarta atau Pasar Gedebage, Bandung.
Langkah pemerintah memberantas pakaian bekas ilegal mendapat respons yang berbeda-beda dari pedagang. Ada yang setuju ada juga yang ‘murka’ dengan langkah pemerintah.
Tidak Semua Ilegal
Salah satu pedagan barang thrift yang bernama Mamet ini mengungkapkan dirinya setuju dengan langkah pemerintah memberantas bal-balan ilegal yang masuk ke dalam Indonesia.
“Gini, banyak yang salah persepsi. Tidak semua barang-barang bekas yang dijual itu ilegal. Kalau bal-balan ilegal yang diberantas pemerintah itu saya setuju saja karena kan ilegal. Namun, saya kan mencari barang bekas itu di dalam negeri saja. Contoh ada orang mau jual baju asli artis kesayangan, atau mainan-mainan karena tidak semua barang bekas itu hanya baju ada juga yang lain yang saya jual,” ujar Mamet ketika berbincang dengan Bloomberg Technoz.
“Bal-balan ilegal itu dibasmi saja. Merugikan kita yang mencari di dalam negeri. Saya hunting itu hampir di seluruh Indonesia. Seperti di pasar Medan, atau wilayah lain,” tambahnya.
Mamet juga menceritakan pendapatannya sempat menurun karena langkah pemerintah memberantas pakaian ilegal dari luar negeri dikarenakan salah persepsi tersebut. “Kostumer sejauh ini aman-aman saja. Kalau ada penurunan ada, gara-gara itu orang salah persepsi. Karena thrifting itu tidak semua dari bal-balan ilegal itu,” tambahnya.
Bagi pengamat sosial Universitas Indonesia Devi Rahmawati, ada beberapa faktor yang membuat pakaian bekas sangat digemari masyarakat. Selain adanya faktor ekonomi, faktor lain seperti sejarah thrifting sendiri perlu dipahami.
“Kalau konteks di Indonesia memang di masa lalu thrifting menjadi alternatif bagi kelompok yang ingin keliatan memiliki kesempatan untuk bisa sejajar dengan kelas sosial tertentu tapi dengan barang-barang yang berkualitas dan murah. Kenapa? Karena masyarakat kita adalah masyarakat hierarkis. Beda dengan Barat yagn sangat egalitarian yang artinya adalah antara saya dan kamu tidak ada perbedaan kelas,” ujar Devi kepada Bloomberg Technoz.
Masyarakat Timur di sini bukan hanya Indonesia, menurut Devi, China, Jepang, dan lainnya juga merupakan masyarakat yang sangat hierarkis.
“Nah, mereka biasanya menjadi rujukan bagi masyarakat yang ada di kelas-kelas di bawahnya. Ketika kelompok ini bisa membeli barang-barang bermerek dari luar negeri yang asli maka kelompok di bawahnya kemudian ‘meneladani’ karena masyarakat yang hirarkis itu pasti di bawahnya kelas sosial akan berupaya: 1. naik kelas, 2. kalaupun tidak naik kelas maka mereka akan berusaha meniru apa yang kemudian dilakukan kelompok kelas yang lebih tinggi. Salah satunya lewat berpakaian,” kata Devi.
“Inilah yang kemudian membuat pasar diisi oleh barang-barang pakian bekas tadi bukan hanya hari ini. Ditambah, negara kita dan negara-negara lain yang bekas dijajah terkena virus yang namanya ‘post colonial virus’ pascapenjajahan. Artinya, bahwa masyarakat yang pernah dijajah akan selalu menilai bangsa yang pernah menjajah mereka adalah bangsa dengan kualitas terbaik,” tambahnya.
Lalu kenapa barang thrifting sekarang diminati lintas kelas?
“Sederhana, karena pengaruh digital. Pada era digital mata uangnya adalah selalu kebaruan. Nah, untuk menjadi baru terus menerus tentu akan menggerus uang dong. Thrifting akan menjadi salah satu alternatif. Karena apa yang kamu posting di IG tidak mungkin akan sama. Kalau kamu posting mengenakan pakaian warna merah, makan baju warnah merah tidak mungkin kamu post lagi pada siang hari. Jadi pokoknya haru selalu baru, harus selalu beda,” jawabnya.
Pengamat sosial lain yaitu Bambang Shergy juga menilai ada beberapa faktor yang membuat masyarakat tidak akan bisa lepas dari pembelian baju bekas. Faktor pertama adalah jangkauan untuk mendapatkan barang-barang tersebut yang semakin dimudahkan.
"Murah dan kemudahan. Masyarakat sudah menghindari toko-toko besar atau mal. Mereka bergeser dari outlet kecil di lingkungan. Ditambah adanya faktor daya beli, kalau ke mal godaan belanja makin banyak,” ujar Bambang.
-- Dengan asistensi Dovana Hasiana.
(spt/wdh)