Apalagi sepertinya bukan hanya The Fed yang agresif. Bank-bank sentral di Asia masih membuka ruang untuk kenaikan suku bunga lebih lanjut.
Dana Moneter Internasional (IMF) berpandangan bank sentral di Asia mungkin perlu menaikkan suku bunga acuan lebih lanjut jika inflasi inti tidak segera turun menuju target.
Bloomberg News mengabarkan, pembuat kebijakan harus “selalu waspada” meski inflasi umum melambat karena inflasi inti (yang mengeluarkan kelompok harga bergejolak) masih di atas sasaran. Demikian ditulis oleh Krishna Srinivasan, Thomas Helbling, dan Shanaka J Peiris dari IMF dalam blog resmi.
Negara-negara di Asia tengah menikmati tren penguatan nilai tukar dan perlambatan inflasi seiring penurunan harga komoditas. Namun efek putaran kedua (second-round effect) masih terjadi. Pembukaan aktivitas di China yang meningkatkan permintaan juga bisa membuat harga naik lagi.
“Artinya, bank sentral harus waspada dan kembali menegaskan komitmen mereka terhadap stabilitas harga. Mungkin mereka perlu kembali menaikkan suku bunga acuan jika inflasi inti tidak menunjukkan tanda-tanda turun sesuai target,” sebut riset IMF.
Keuntungan Menipis
Ketika suku bunga di Negeri Paman Sam cenderung naik sementara Indonesia ditahan, maka selisih imbal hasil (yield spread) antara dua negara semakin sempit. Ini berisiko membuat arus modal meninggalkan Indonesia karena menawarkan imbalan investasi yang kurang menarik.
Di dalam negeri, sinyal keluarnya arus modal asing kian terasa. Di pasar modal, pembelian saham oleh investor asing terpantau menyusut.
Kemarin, nilai pembelian saham oleh investor asing tercatat Rp 3,16 triliun. Turun dibandingkan akhir pekan lalu yang Rp 3,84 triliun. Investor asing sempat memborong saham di Bursa Efek Indonesia senilai lebih dari Rp 5 triliun dalam sehari.
Di pasar obligasi pemerintah, kepemilikan asing juga berkurang. Per 17 Februari 2023, nilai kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) tercatat Rp 806,11 triliun. Turun dibandingkan hari sebelumnya yang Rp 807,59 triliun dan menjadi yang terendah sejak 24 Januari 2023. Pada awal tahun, nilainya adalah Rp 762,91 triliun.
Obligasi RI Tertekan Aksi Jual
Hari ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah melemah. Pada penutupan perdagangan sesi I, IHSG melemah 0,09% ke 6.888,21, terendah sejak 10 Februari 2023.
Di pasar valas, rupiah melemah 0,13% terhadap dolar AS ke Rp 15.178/US$ pada pukul 11:57 WIB. Ini menjadi posisi terlemah rupiah sejak 16 Februari 2023.
Tidak hanya itu, yield surat utang pemerintah dalam denominasi valas juga naik. Kenaikan yield menandakan harga obligasi sedang turun, sinyal adanya aksi jual.
Kemudian Credit Default Swap (CDS) Indonesia tenor 5 tahun kemarin diperdagangkan di 95,149 bps. Naik 2,69 poin (2,92%) dari posisi akhir pekan lalu dan menjadi yang tertinggi sejak 6 Januari 2023.
CDS adalah instrumen yang memperdagangkan risiko gagal bayar (default) dari suatu obligasi. Semakin tinggi nilainya, maka risiko gagal bayar kian besar.
“Tindakan investor asing menjual SBN dan keluar dari pasar domestik dalam 2 minggu terakhir ini menunjukkan kekhawatiran mereka terhadap langkah BI yang terlalu percaya diri,” tegas Lionel Priyadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas.
(aji)