Menurut Hadi, skema itu sejatinya mirip dengan stimulus yang diberikan pada periode 2021 hingga akhir kuartal III-2022. Perbedaan dengan skema saat ini ada di besaran diskon dan rentang harga properti.
Pada periode 2021-2022 itu, diskon PPN sebesar 10% diberikan untuk properti dengan harga dibawah Rp2 miliar. Kemudian, diskon PPn 5% diberikan untuk properti dengan harga Rp2 miliar hingga Rp5 miliar.
Meski dipangkas setengahnya mulai kuartal III-2022, stimulus itu mampu mengerek pertumbuhan marketing sales PWON, CTRA, BSDE dan SMRA rata-rata 20% di 2021. Pada 2022, pertumbuhannya bahkan mencapai 35%.
"Stimulus baru di periode 2023-2024 ini akan substansial untuk sektor properti, terutama pengembang dengan portofolio rumah tapak. CTRA, BSDE, PWON, dan SMRA menurut kami akan mendapat paling banyak efek positif. Namun, menurut kami pertumbuhan marketing sales periode ini tidak lagi setinggi 2021-2022 karena stok persediaan properti yang lebih rendah," tutur Hadi.
Terbatas Daya Beli
Secara terpisah, Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad meragukan insentif properti ini bakal berdampak signifikan terhadap penjualan rumah. Menurutnya, yang menjadi problem saat ini adalah daya beli masyarakat yang masih lemah.
"Masyarakat berpenghasilan Rp5 juta ke bawah, memiliki kemampuan untuk membeli rumah misalnya, tapi tertahan karena untuk memenuhi kebutuhan primer," ujar Tauhid kepada Bloomberg Technoz.
Maka tak berlebihan, kata dia, penjualan rumah bisa meningkat tapi terbatas pada 2-3% dari kondisi saat ini. "Saya kira cuma 2-3%," tegas dia.
Tauhid menilai yang dibutuhkan saat ini adalah solusi dari beragam persoalan kenaikan harga pangan, dan perluasan lapangan pekerjaan terutama di daerah yang tingkat pengangguran tinggi
"Ketiga, memberikan fasilitas pelayanan publik yang murah dan terjangkau, tarif air minum, listrik, yang bisa mengurangi cost hidup masyarakat," tegasnya.
(mfd/dhf)