“Jika rupiah terus melemah, maka kami meyakini ada kemungkinan BI akan menaikkan suku bunga dalam rapat di luar jadwal. Ini pernah terjadi pada Agustus 2013 dan Mei 2018,” sebut riset Bahana yang ditulis oleh Putera Satria Sambijantoro dan Drewya Cinantyan.
Kenaikan suku bunga lebih lanjut, sebut riset itu, dibutuhkan jika intervensi BI di pasar sudah dipandang tidak sustainable.
Mata uang Asia sedang dalam tekanan akibat tren penguatan dolar Amerika Serikat (AS) seiring kenaikan imbal hasil (yield) obligasi. Kemarin, BSP menaikkan suku bunga acuan menjadi 6,5% dalam rapat tidak terjadwal.
Gubernur BSP Eli Remolona mengungkapkan bank sentral “merasa sedikit terlambat:” setelah memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan dalam rapat September. Padahal risiko inflasi meningkat.
Kenaikan suku bunga acuan di Indonesia bulan ini terjadi setelah BI 7 Day Reverse Repo Rate ditahan selama 8 bulan. Tujuannya adalah sebagai langkah “preemtif dan front loading”, kata Gubernur Perry Warjiyo. Perry juga memberi sinyal bahwa pihaknya siap melakukan upaya jika dibutuhkan.
Jika suku bunga acuan naik 25 bps menjadi 6,25%, sebut riset Bahana, maka bisa menjadi semacam jaminan bahwa Indonesia siap menghadapi risiko geopolitik dan ketidakpastian politik dalam negeri jelang Pemilu 2024 yang bisa mempengaruhi arus modal asing.
Sementara para ekonom lain juga memperkirakan akan ada kebijakan pengetatan moneter lanjutan, setelah keputusan pekan lalu dianggap tidak banyak membantu rupiah. Di sisi inflasi, Indonesia jauh lebih baik ketimbang Filipina.
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) akan mengadakan rapat pada 3 November dan mungkin akan mengeluarkan respons yang lebih komprehensif, lanjut Erwin.
(bbn)