"Saat ini, Turki merupakan negara dengan kapasitas terpasang panas bumi terbesar keempat di dunia. Ini yang menjadi salah satu alasan mengapa kami berkunjung ke sini," ujarnya.
Selan itu, Jufli mengatakan, Turki saat ini memiliki iklim investasi bisnis panas bumi yang cukup positif. Hal ini diindikasikan dengan beberapa faktor seperti privatisasi sektor panas bumi yang dimulai sejak 2009 dan memiliki insentif yang ramah terhadap investor.
Secara khusus, insentif yang lebih menguntungkan diberikan pemerintah kepada perusahaan energi yang mengembangkan panas bumi dengan skema feed-in tariff. Insentif ini memberikan kepastian produk yang dihasilkan pengembang terserap dengan keekonomian yang layak.
Iklim yang positif ini berdampak pada peningkatan produksi panas bumi Turki yang mengalami kenaikan signifikan dari 80 megawatt (MW) menjadi 1600 MW dalam 10 tahun terakhir, menjadikannya negara dengan pertumbuhan energi panas bumi tercepat di dunia.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam Turki, pada akhir April 2023 kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi di Turki telah mencapai 1691,4 MW, yang juga menjadi yang terbesar setelah Amerika, Indonesia dan Filipina.
Wilayah Anatolia memiliki lebih dari 92% sumber potensial energi panas bumi di Turki dimana 78% berada di wilayah barat Anatolia.
Pada awal Agustus, PGEO juga tengah mengincar aset panas bumi di Kenya, yang dipimpin Presiden RI Joko Widodo dan Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati.
Faktor keamanan yang terus membaik juga menjadi pertimbangan utama anak usaha Pertamina itu menyasar Kenya.
Dalam kesempatan itu, PGEO berhasil meneken dua kesepakatan kerja sama engan Geothermal Development Company (GDC) senilai US$1,5 miliar, dan Africa Geothermal International Limited (AGIL) senilai US$700 juta.
(ibn/wdh)