Kedua, Bantuan Biaya Administrasi (BBA) untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah 14 bulan ke depan, juga menaikkan batas harga rumah subsidi yang berhak memperoleh pembebasan PPN jadi Rp350 juta. Kebutuhan anggarannya mencapai Rp1,2 triliun.
Ketiga, menambah target bantuan Rumah Sejahtera Terpadu (RST) sebanyak 1.800 rumah, sebesar Rp20 juta per rumah. Anggaran yang dibutuhkan untuk paket ketiga ini mencapai Rp36,2 miliar.
Memilih sektor properti sebagai fokus insentif tambahan menghadapi turburlensi belakangan ini, dapat dipahami menilik sumbangan sektor ini terhadap pertumbuhan ekonomi memang cukup besar.
Kajian LPEM Universitas Indonesia yang dirilis tahun ini menyebut, sumbangan sektor properti, real estate dan konstruksi selama periode 2018-2022 mencapai Rp2.349-Rp2.865 triliun atau setara 14,63%-16,3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sektor properti memiliki keterkaitan dengan 185 sektor industri lain.
Bahkan di kala krisis akibat Pandemi Covid-19 pecah, sektor ini masih mampu menyumbang 12% PDB.
Daya Beli Lesu
Berbagai insentif yang digelontorkan itu memang ditujukan untuk mendorong masyarakat bersemangat membeli properti, juga mendorong pengembang giat membangun rumah yang terjangkau. Permasalahannya, untuk memastikan kebijakan itu efektif, perlu ada kesiapan daya beli juga dari masyarakat.
Rumah memang salah satu kebutuhan pokok. Akan tetapi, membeli rumah membutuhkan kesiapan finansial yang memadai menilik harganya yang tidak murah dan biasanya menjadi transaksi keuangan pertama terbesar yang dilakukan oleh seseorang dalam hidupnya.
Saat ini daya beli masyarakat ditengarai mulai tertekan kenaikan harga pangan terutama beras semakin mahal, tertinggi dalam satu dasawarsa terakhir.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menggarisbawahi ancaman daya beli karena beras itu termasuk komponen harga pangan berfluktuasi (volatile food) yang mencatat kenaikan Juli-September hingga 3,6% dari sebelumnya mendekati deflasi.
"Ini kita lihat tantangan rumah tangga masyarakat rentan dan miskin akan mengalami tekanan dengan harga pangan," kata Sri Mulyani.
Berdasarkan survei Bank Indonesia terakhir, terlihat bahwa Indeks Keyakinan Konsumen pada September lalu turun ke level terendah dalam 9 bulan terakhir walau masih di zona ekspansi di angka 121,7. Penurunan keyakinan terdalam dicatat oleh masyarakat dengan pengeluaran Rp2,1 juta-Rp3 juta.
Kelompok ini juga mencatat lonjakan porsi pengeluaran untuk konsumsi yang terbesar, bersama dengan kelompok pengeluaran Rp4,1 juta-Rp5 juta per bulan. Bahkan bagi kelompok bawah yakni dengan pengeluaran Rp1 juta-Rp2 juta, proporsi pendapatan yang habis untuk konsumsi mencapai level tertinggi setidaknya sejak September 2021.
Kuat dugaan lonjakan porsi pendapatan yang habis untuk konsumsi itu dipengaruhi oleh kenaikan harga pangan yang dramatis, terutama beras, gula dan bahan-bahan dapur lain.
Peningkatan pengeluaran untuk konsumsi itu terjadi bersamaan dengan penurunan keyakinan masyarakat dalam membeli barang tahan lama (durable goods), termasuk rumah, yang terjadi di hampir semua kelompok pengeluaran. Bahkan untuk kelompok pengeluaran di bawah Rp3 juta per bulan, indeksnya telah berada di zona kontraksi di bawah 100.
Dengan daya beli yang lesu, membeli barang mahal seperti rumah terlebih di tengah bunga acuan yang kembali naik setelah ditahan sekian lama oleh bank sentral, mengecilkan potensi masyarakat yang tergerak memanfaatkan berbagai insentif tersebut. Kendati insentif uang muka 0% masih dilanjutkan sampai akhir tahun depan.
Kalangan perbankan mencium kelesuan prospek senada. Hasil survei permintaan dan penawaran terakhir yang dilansir bank sentral, mengungkapkan, ada gelagat permintaan kredit pemilikan rumah (KPR) akan melambat dalam 3-6 bulan ke depan.
Sementara untuk jenis kredit multiguna diprediksi akan naik dalam satu kuartal hingga satu semester ke depan.
BI mencatat, pada September lalu, jenis pembiayaan yang terbanyak diajukan oleh nasabah rumah tangga atau individu adalah kredit multiguna. Sementara jenis kredit konsumsi lain seperti KKB, KPR dan kredit peralatan rumah tangga kesemuanya turun. "Pada enam bulan mendatang, permintaan KPR diperkirakan turun," kata BI.
Itulah mengapa BI melanjutkan kebijakan uang muka KPR dan KKB 0% hingga akhir tahun 2024 demi merangsang permintaan kredit yang sejauh ini memperlihatkan perlambatan. Per September lalu, kredit perbankan hanya tumbuh 8,7%, semakin lambat daripada bulan sebelumnya 8,9% dan kian menjauh dari batas bawah target BI di 9%.
Sementara kredit properti juga tercatat melambat 8,7% dari bulan sebelumnya 9,8%. Penyaluran KPR dan KPA pada September melambat jadi 12,3%, kredit konstruksi juga turun melambat jadi 3% dari sebelumnya 3,2%. Sementara kredit real estate turun lebih dalam dengan pertumbuhan hanya 9,1% dari sebelumnya 13,8%.
Ada Peluang
Mengutip riset "Efektivitas atas Insentif Pajak Pertambahan Nilai Sektor Properti" yang dilansir oleh Naufal Abda Aizar dan Suparna Wijaya pada 2022 lalu, kesimpulan yang didapatkan adalah kebijakan insentif PPN DTP cukup efektif.
Sebelum dirilis lagi tahun ini, pemerintah memang sempat menerapkan insentif serupa saat Indonesia dihantam pandemi dan terhenti pada September tahun lalu.
"Dampak PPN DTP pada perekonomian cukup berpengaruh karena dari semua indikator makro ekonomi yang ada cenderung naik setelah penerapan kebijakan yaitu pertumbuhan PDB di sektor real estate, penyerapan tenaga kerja dan perkembangan PMDN juga naik," demikian jelas riset setebal 203 halaman itu.
Pertumbuhan sektor real estate masih terkontraksi (tumbuh negatif) pada saat PPN DTP mulai diterapkan akan tetapi pada kuartal berikutnya yaitu kuartal III dan IV 2021, sektor tersebut konsisten tumbuh positif. Tren serupa juga terlihat dari data PDB lapangan usaha sektor terkait.
Hanya saja, menurut kajian tersebut, kebijakan PPN DTP akan lebih efektif lagi apabila pemerintah juga mengenakan PPN Deemed seperti yang diterapkan pada emas untuk menstimulasi para developer berskala kecil agar ikut memanfaatkan insentif tersebut.
"Karena dalam menyusun pajak masukan terbilang rumit mengingat developer kecil mengambil material bangunan dari toko terdekat di mana tidak memiliki administrasi perpajakan berupa faktur pajak," jelas hasil riset tersebut.
Pemerintah sendiri memperkirakan, paket-paket kebijakan itu bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi 2023 menjadi 5,1% dan 5,2% pada 2024. Di mana apabila tidak ada insentif, perekonomian RI kemungkinan hanya tumbuh 5,04% tahun ini dan 5,08% tahun 2024.
(rui/aji)