Logo Bloomberg Technoz

Perebutan kendali atas Sudan, sebuah negara kaya sumber daya yang terletak di Laut Merah dekat titik penyempitan pengiriman global, telah menewaskan lebih dari 9.000 orang dan memaksa 5,6 juta orang keluar dari rumah mereka. Iran sendiri tercatat kerap memberikan dukungan kepada kelompok militan mulai dari Hamas di Gaza, Hizbullah di Lebanon, hingga Houthi di Yaman.

Hubungan yang lebih dalam dengan Iran juga berpotensi mengakhiri rencana perbaikan hubungan Sudan dengan Israel, yang memiliki dukungan Amerika Serikat (AS). Pejabat tersebut mengatakan ini merupakan inisatif yang telah gagal karena perang saudara. 

Perbaikan hubungan, yang mencakup langkah untuk membuka kembali kedutaan besar yang ditutup pada tahun 2016, terjadi saat negara-negara Barat mencoba menghentikan perang Israel-Hamas agar tidak meluas ke negara-negara Timur Tengah lainnya, mulai dari Lebanon hingga Irak, di mana kekuatan yang bersifat pro-Iran masih berkuasa.

AS mengatakan mereka telah melakukan pembicaraan rahasia untuk memperingatkan Iran agar tidak meningkatkan konflik yang meletus ketika Hamas menyerang kota-kota Israel pada tanggal 7 Oktober lalu. Pihak berwenang di Gaza yang dikelola oleh Hamas mengatakan bahwa serangan bom Israel telah membunuh ribuan orang. 

'Keterlibatan Proksi'

Pejabat Uni Eropa tidak merespons permintaan komentar, begitu pula dengan Kementerian Luar Negeri Iran. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan bahwa mereka "telah menyampaikan keprihatinan kami tentang hal ini kepada kontak-kontak di pemerintah militer Sudan." 

Juru bicara tersebut mengatakan AS dan rekan-rekannya bersatu dalam menyerukan pihak-pihak yang terlibat untuk segera menghentikan pertempuran di Sudan, serta menyerukan agar pasukan militer dan RSF menghormati hukum internasional dan hak asasi manusia, serta memberikan akses tanpa hambatan untuk bantuan.

Di antara kekhawatiran, kata orang-orang tersebut, adalah bahwa Iran mungkin akan memperluas program dronnya, yang menurut AS telah memasok Hizbullah, Hamas, Kata'ib Hizbullah di Irak, Houthi, dan tentara Ethiopia.

Menteri Pertahanan Sudan, Abdel Fattah al-Burhan, bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran pada Juli dalam pertemuan Gerakan Non-Blok di Azerbaijan. Kala itu mereka sepakat untuk membangun kembali hubungan dan memperkuat hubungan politik dan ekonomi.

Menurut Small Arms Survey yang berbasis di Jenewa dalam laporan tahun 2014, Iran dan Sudan menandatangani perjanjian pertahanan bersama pada tahun 2007. Setelah itu terjadi peningkatan penjualan misil dan drone Iran kepada Khartoum. 

Laporan tersebut memberikan bukti bahwa Iran memiliki peran penting dalam industri senjata Sudan, menggunakan fasilitas manufaktur besar di ibu kota negara Afrika itu untuk memproduksi persenjataan dan sebagai pusat pasokan selanjutnya.

Rekonsiliasi dengan Iran membuat konflik di Sudan "terpapar pada keterlibatan proksi lebih lanjut yang kemungkinan hanya akan memperpanjang pertempuran dan memberi kedua pihak lebih banyak kesempatan untuk terus berperang," kata Hafsa Halawa, seorang cendekiawan non-residen yang berbasis di Dubai di Middle East Institute.

Iran dan Sudan memiliki hubungan erat selama tiga dekade terakhir. Keduanya sama-sama mengagumi Islam revolusioner setelah Presiden Omar al-Bashir merebut kekuasaan pada 1989. Hal ini berubah pada 2015, ketika Sudan condong ke Arab Saudi yang sangat besar di kawasan itu dan mengirim pasukan untuk membantu melawan Houthi Yaman, hal ini membuatnya berselisih dengan Iran.

Setelah Bashir digulingkan dalam pemberontakan rakyat pada 2019, pemerintahan transisi yang dipimpin militer Sudan berusaha keras membangun kembali hubungan dengan negara-negara barat dan menyelamatkan perekonomian. Sebagian besar kemajuan tersebut hancur ketika konflik meletus pada bulan April antara militer Sudan dan milisi RSF, yang pemimpin-pemimpinnya telah menjalin hubungan keamanan dengan Israel dalam beberapa tahun terakhir.

Pertemuan di Jeddah pada hari Kamis akan dimediasi oleh AS, Arab Saudi, dan Otoritas Antar Pemerintah untuk Pembangunan (Intergovernmental Authority on Development), sebuah blok negara-negara Afrika Timur termasuk Kenya, Ethiopia, dan Uganda. Tujuan mereka terbatas, yaitu gencatan senjata sementara dan akses terhadap bantuan kemanusiaan yang penting.

Peluang tercapainya kesepakatan tersebut sangat kecil, menurut analis politik Sudan, Kholood Khair.

"Sekarang musim kemarau, dan melanjutkan konflik ini di medan perang sekarang lebih diutamakan daripada melakukannya di meja perundingan," katanya. 

Kedua pihak yang bertikai "memiliki pengalaman puluhan tahun membuat mediasi internasional seperti ini berhasil bagi mereka - mengulur waktu sambil terus berperang dan umumnya berputar-putar di sekitar para mediator."

(bbn)

No more pages