Seiring dengan meningkatnya ancaman perubahan iklim dan upaya dunia untuk bergerak menuju sasaran emisi nol bersih, komentar Bowden menyoroti perjuangan yang makin besar bagi industri ini.
Meskipun permintaan minyak mentah di seluruh dunia mencapai titik tertinggi sepanjang masa tahun ini, perbankan lebih berhati-hati dalam menawarkan pendanaan. Hal ini menyebabkan sistem pengilangan global terbebani, sehingga meningkatkan risiko kemacetan dan harga yang berfluktuasi.
Ketidaksesuaian antara permintaan hidrokarbon yang berkelanjutan dan keengganan untuk berinvestasi pada kapasitas, atau menjaga pabrik tetap buka, telah memicu ketegangan global dalam beberapa tahun terakhir. Ketika harga bahan bakar melonjak tahun lalu, pejabat tinggi perminyakan Arab Saudi menyalahkan krisis penyulingan, bukan kekurangan minyak mentah.
Sekarang pemilik pabrik perlu menunjukkan bahwa bisnis mereka sedang dalam proses transisi menuju sasaran emisi nol bersih, Bowden menambahkan pada Rabu. Untuk kilang yang akan datang, upaya tersebut mencakup rencana untuk menggunakan produk limbah pabrik sebagai bahan bakar, serta mengalirkan listrik ke beberapa operasi, katanya.
Di sisi lain, PT Pertamina milik negara Indonesia telah mampu memperoleh pembiayaan, menurut Maria Katryn, manajer pembiayaan senior di PT Kilang Pertamina. Perusahaan ini mempunyai proyek lingkungan hidup, namun belum sepenuhnya mengekang emisi, katanya.
Bank-bank telah menerapkan lebih banyak pembatasan pada pembiayaan minyak dan gas, dengan ekspektasi bahwa dunia akan segera mengurangi kebutuhan akan minyak dan gas, kata Roger Charles, direktur eksekutif keberlanjutan di DBS Bank Ltd.
“Narasi yang realistis untuk rencana transisi energi adalah kunci untuk mengakses pembiayaan,” ujarnya.
Meski begitu, meluncurkan bisnis berkelanjutan juga mempunyai kendala tersendiri.
“Ada banyak contoh green-washing di mana orang – karena berbagai tekanan – dipaksa melakukan sesuatu yang tidak bisa mereka lakukan,” kata Mayank Vishnoi, chief financial officer ChemOne Group.
(bbn)