Logo Bloomberg Technoz

Hingga saat ini, jaringan perpipaan air bersih baru bisa menjangkau 65,8 persen wilayah Jakarta. Jaringan ini memasok air bersih sebanyak 20.757 liter per detik kepada 906.648 pelanggan atau rumah.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan, pemerintah akan mendukung target pemenuhan air bersih Jakarta. Sebelumnya, Pemprov DKI bersama Kementerian PUPR dan Kementerian Dalam Negeri juga sudah menandatangani nota kesepakatan tentang sinergi pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di sisi hulu dan hilir.

“Kalau semua proyek SPAM ini sudah bisa kita selesaikan sesuai timeline dan bisa men-supply rakyat DKI Jakarta, maka pada tahun 2030, Pemerintah bisa menyampaikan kepada rakyat untuk stop pakai air tanah. Hanya dengan upaya itu penurunan air tanah di DKI Jakarta bisa dihentikan,” kata Basuki.

Menurut dia, kebutuhan suplai air bersih Jakarta diprediksi mencapai 31.875 liter per detik pada 2030. Kementerian PUPR akan membantu dengan pembangunan pada sisi hulu. Beberapa di antaranya adalah pembangunan SPAM Regional Jatiluhur I sebesar 4.000 liter per detik, SPAM Regional Karian-Serpong sebesar 3.200 liter per detik, dan SPAM Ir. H. Djuanda dengan indikasi sebesar 2.054 liter per detik. 

Pada sisi hilir, kata Basuki, Pemprov DKI Jakarta diminta untuk optimalisasi aset SPAM yang sudah ada, serta pembangunan distribusi untuk mendukung SPAM Regional Jatiluhur I dan SPAM Regional Karian- Serpong. Proyek skema bundling ini akan menelan biaya modal sekitar Rp 26,7 Triliun. 

"Dengan 3 proyek tersebut mudah-mudahan target 100% pada tahun 2030 dapat tercapai,” ujar Basuki.

Polemik Swastanisasi Air Bersih

Pemprov DKI Jakarta sebenarnya sudah lama ingin mengambil alih kewenangan pengelolaan air bersih dari swasta. Gubernur Anies Baswedan sempat membentuk Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum, Agustus 2018. Hasilnya, dia mengeluarkan keputusan akan menghentikan swastanisasi air bersih, Februari 2019.

Akan tetapi, proses pelaksanaan keputusan tersebut sangat berbelit. Pemprov dan PAM Jaya menemui sejumlah halangan termasuk klausul dan konsekuensi hukum dari rencana pembatalan kontrak dengan PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) secara sepihak.

Hingga akhirnya, dua perusahaan swasta tersebut tetap mengelola air bersih di Jakarta hingga hari terakhir masa kontrak, 31 Januari 2023.  

Pemerintah meneken kontrak kerja sama pengelolaan air bersih dari hulu hingga hilir kepada PT Aetra dan Palyja, 6 Juni 1997. Kontrak tersebut memiliki masa berlaku selama 25 tahun atau hingga 1 Februari 2023.

Dalam perjanjian tersebut, dua perusahaan swasta memiliki tanggung jawab untuk menambah jaringan pipa atau cakupan air bersih hingga mencapai 82% wilayah Jakarta. Pada awal perjanjian, instalasi pipa air bersih sendiri sudah terpasang seluas 44,5% wilayah Jakarta.

Ternyata, kinerja dua perusahaan tersebut jauh dari target. Pemprov mencatat keduanya hanya menambah cakupan air bersih sebanyak 14,9% atau menjadi 59,4%, pada 2017 atau 20 tahun masa kontrak. Keduanya tak mungkin menyelesaikan pembangunan pipa seluas 20,6% dengan nilai investasi besar di sisa masa kontrak.

Selain tak sesuai kontrak, pengelolaan air bersih dua perusahaan ini juga kerap mendapat protes dan kritik dari masyarakat atau konsumen. Penyaluran air ke sejumlah pipa kelompok konsumen kerap memiliki debit yang sangat kecil, bahkan mati. Air yang dikirimkan juga beberapa kali berwarna, kotor, dan berbau.

Cegah Jakarta Tenggelam

Lambatnya pembangunan instalasi pipa air bersih memicu masalah lain di Jakarta. Kelompok masyarakat yang belum mendapatkan pasokan air bersih dari perpipaan kemudian melakukan eksploitasi pada air tanah. 

Berdasarkan data pemprov, jumlah konsumsi air tanah sepanjang 2018 saja mencapai 8,15 juta meter kubik. Padahal, volume produksi air bersih dari jaringan perpipaan sepanjang periode yang sama cuma 543 ribu meter kubik.

Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta sempat merilis terjadi penurunan tanah lebih dari 10 cm per tahun di sejumlah titik pada wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Wilayah Jakarta lainnya juga mengalami penurunan yang berbeda-beda, dengan rata-rata 2-10 cm per tahun. Semua ini terjadi secara konstan sepanjang 2011 hingga 2018.

Jika terus berlangsung, Pemprov mencatat, 90 persen wilayah Jakarta akan tenggelam pada 2050. Daratan di kawasan Muara Baru dan Pluit akan berada sekitar 4 meter di bawah permukaan laut.

Pemerintah memang harus segera menghentikan konsumsi air tanah di wilayah Jakarta. Hal ini baru bisa dilakukan kalau pemerintah sudah mampu memberikan alternatif sumber air bersih yaitu perluasan jaringan perpipaan. Aturan larangan tak bisa berjalan efektif kalau masyarakat masih kesulitan mendapat air bersih. Karena air bersih adalah salah satu kebutuhan harian.

(frg/wep)

No more pages