Kenaikan policy rate nyatanya belum cukup ampuh juga mengerem pelemahan rupiah dengan pagi ini kembali terperosok mendekati Rp16.000/US$. Bila melihat pergerakan imbal hasil yang ditawarkan dalam lelang Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang sudah di kisaran 6,6%, ada potensi BI7DRR akan kembali naik dalam waktu dekat.
"Jika sentimen global terus memburuk dan aksi jual rupiah terus berlanjut pasca rapat the Fed [FOMC] bulan depan atau rapat Bank of Japan pekan depan, kami perkirakan BI akan mengerek bunga 50 bps ke 6,5% pada RDG 25 November atau bahkan lebih awal dalam RDG mingguan," kata Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.
Bagi banyak negara, pengetatan moneter menjadi salah satu jurus untuk menyokong kekuatan mata uang yang belakangan ini semakin tergerus keperkasaan dolar AS. Bunga acuan AS yang terus tinggi memperkuat the greenback dan menarik banyak modal global keluar dari aset-aset di pasar negara berkembang, menyerbu dolar AS dan surat utang Amerika yang imbal hasilnya sudah di nyaris 5%.
Cadangan devisa terkuras banyak untuk mengimbangi tekanan jual di pasar. Filipina mencatat penurunan posisi cadev hingga ke level US$ 98,7 miliar, terendah sejak Desember lalu. Sementara Indonesia juga menurun cadev ke level terendah sejak November meskipun disebut masih memadai untuk membiayai 6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri, di atas standar kecukupan internasional 3 bulan.
Bebani ekonomi
Kenaikan bunga acuan mungkin menjadi 'obat pahit' yang dibutuhkan agar kejatuhan valuta tidak semakin liar. Hanya, pengetatan moneter pada akhirnya akan membuat laju pertumbuhan ekonomi akan semakin berat.
Bagi para nasabah bank yang sudah memasuki periode bunga mengambang, kenaikan bunga acuan berarti ada risiko kenaikan bunga kredit dan mengerek pula beban cicilan.
Potensi kenaikan beban cicilan melengkapi berbagai tantangan yang sudah dihadapi oleh masyarakat keseharian di mana harga beras terus meroket hingga mendekati 20%, kenaikan tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Krisis di Gaza yang membuat banderol harga minyak dunia di level tinggi membayangi juga kenaikan harga BBM
Toh, pemerintah masih percaya diri perekonomian bertahan dengan menggelontorkan berbagai kebijakan. Dalam konferensi pers APBN Kita, Menteri Keuangan RI menyatakan, pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal IV-2023 diperkirakan mencapai 4,86%. Alhasil, pemerintah menggelontorkan berbagai stimulus dan insentif agar ekonomi masih bisa mampu tumbuh 5,04%.
Sehingga untuk keseluruhan 2023, kata Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5,1%. "Kita perkirakan kita bisa menjaga dari guncangan yang diperkirakan bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi kita menjadi 5,04%," ungkapnya.
Adapun untuk 2024, pemerintah masih berpegang kepada asumsi pertumbuhan ekonomi 5,2%. Namun tanpa paket kebijakan fiskal, pertumbuhan ekonomi bisa lebih rendah di 5,08%.
(rui/roy)