Pada kesempatan lain, dia mengatakan, jorjorannya pembiayaan bank asing tersebut menyebabkan sebagian besar modal perusahaan smelter 'lari' ke luar negeri. "Tetapi untuk keuntungan dan Opex-nya itu semua masuk semua ke Indonesia."
Sebelumnya, kalangan pakar ekonom memang menilai jorjoran program penghiliran, termasuk industri smelter nikel yang dihelat Pemerintah Indonesia beberapa tahun terakhir, sejatinya lebih menguntungkan asing, alih-alih industri di dalam negeri.
Ekonom senior Faisal Basri mengatakan, semangat hilirisasi tersebut pun tak sejalan dengan industrialisasi dalam negeri. Menurutnya, investasi nikel--yang mayoritas dari China selama ini justru mengarahkan RI pada deindustrialisasi.
Dia mengatakan, program penghiliran tersebut justru menguntungkan China, yang diklaimnya telah menguasai mayoritas industri nikel di Indonesia.
"Teknologi dari China semua, patent fee-nya dari China semua, banknya dari China, ya bunganya lari ke China," ujar Faisal di sela publikasi kajian Peran Perusahaan Multinasional Dalam Hilirisasi Nikel di Indonesia, Senin (25/9/2023).
Dia mencontohkan, salah satunya yakni produk baja nirkarat (stainless steel)—yang merupakan salah satu produk turunan nikel—tidak serta-merta dirasakan oleh industri lokal.
"Kita pengekspor utama stainless steel. Seharusnya stainless steel itu dipakai buat pabrik garpu, sendok, pisau di indonesia. Satu pun enggak ada," ujarnya.
"Sehingga, sampai sekarang industri kita itu turun. Ada satu yang naik, 5%—12% itu logam dasar, tetapi tidak menciptakan spread effect ke industri lain. Karena apa? Dia itu sifatnya sendiri itu, kantong sendiri saja," imbuhnya.
(ibn/spt)