Defisit federal mencapai US$1,7 triliun (Rp26.966 triliun) pada tahun fiskal 2023, naik dari US$1,38 triliun pada tahun 2022. Lonjakan semacam ini biasanya hanya terjadi ketika pemerintah sedang dalam mode memerangi resesi, bukan ketika perekonomian tumbuh dengan kecepatan yang baik.
Bahkan jika dinilai dalam konteks perekonomian AS, defisit ini cukup besar. Defisit ini setara dengan 6,3% dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2023, tingkat yang tidak tersentuh selama enam dekade hingga krisis keuangan global 2008.
Defisit tahunan diperkirakan akan terus meningkat, mencapai US$2,9 triliun pada tahun 2033. Dan setiap defisit menambah jumlah utang publik yang sudah sangat besar, yaitu US$26,5 triliun per 19 Oktober, hampir seukuran perekonomian AS.
Apakah itu benar-benar sebuah masalah?
Defisit besar-besaran tampaknya dapat dikelola ketika bank sentral AS, The Federal Reserve mempertahankan suku bunga di nol dan membeli obligasi Treasury AS senilai ratusan miliar dolar. Tetapi dengan suku bunga melampaui 5%, pengeluaran pemerintah, dan pasokan obligasi yang perlu dijual, bertambah begitu cepat sehingga timbul kekhawatiran pada pasar obligasi AS.
Sinyal the Fed bahwa suku bunga dapat akan tetap tinggi lebih lama daripada yang diantisipasi oleh investor juga memicu kekhawatiran baru tentang keberlanjutan utang negara.
Apa dampaknya?
Kekhawatiran tentang defisit, dikombinasikan dengan faktor-faktor lain, menyebabkan imbal hasil pada obligasi Treasury tenor 30-tahun mencapai level tertinggi 16 tahun. Keputusan Fitch Ratings Inc. pada 1 Agustus untuk menurunkan peringkat kredit AS dari AAA menyoroti kondisi keuangan pemerintah yang buruk.
Kelompok Republikan sempat mengutip defisit yang semakin melebar sebagai salah satu motivasi mereka menggulingkan Ketua DPR Kevin McCarthy, yang telah membuat kesepakatan anggaran dengan Demokrat.
Kenapa bisa terjadi begini?
AS hanya mencatat surplus tahunan enam kali sejak 1960, yang terakhir pada tahun fiskal 2001. Tantangan kronis adalah populasi AS yang menua: Semakin banyak orang pensiun sehingga pemerintah harus mengeluarkan lebih banyak untuk pembayaran pensiun Jaminan Sosial dan tunjangan kesehatan Medicare.
Namun, situasinya diperburuk oleh dua keadaan darurat. Krisis keuangan global tahun 2008 memicu kontraksi ekonomi parah yang menyebabkan defisit triliunan dolar selama empat tahun.
Kemudian, mulai 2020, pandemi mengharuskan gelombang uang pemerintah untuk rumah tangga dan bisnis untuk menjaga perekonomian tetap berjalan. Pemotongan pajak US$1,5 triliun Trump pada tahun 2017, yang diberlakukan tanpa pemotongan pengeluaran yang mengimbangi, juga memperlebar defisit, seperti halnya undang-undang domestik utama yang ditandatangani oleh Biden, yang mencakup ratusan miliar dolar untuk mendanai proyek energi bersih dan mengatasi perubahan iklim.
Apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi defisit?
Booming ekonomi yang meningkatkan pendapatan pajak dapat membantu situasi ini. Defisit untuk tahun fiskal yang dimulai pada 1 Oktober, misalnya, kemungkinan akan menyusut karena pajak dibayar untuk mencerminkan kinerja positif pasar keuangan pada tahun kalender 2023.
Hal lain yang patut diperhatikan adalah penentangan Partai Demokrat soal pemotongan program jaring pengaman sosial yang sangat besar dan penentangan Partai Republik soal kenaikan pajak.
Dalam jajak pendapat tahunan yang dilakukan oleh Pew Research Center, jumlah warga AS yang menyebut defisit sebagai prioritas utama mencapai puncaknya pada angka 72% pada tahun 2013, menurun menjadi 42% pada tahun 2021 namun kembali mengalami tren peningkatan, hingga mencapai 57% pada tahun 2023.
Apakah ini hanya jadi masalah di AS?
Sama sekali tidak. Secara global, utang pemerintah telah meningkat US$30 triliun dalam satu dekade terakhir, menjadi US$87,3 triliun pada kuartal kedua tahun 2023, menurut Institute of International Finance, yang mewakili bank-bank terbesar di dunia.
Berdasarkan pangsa perekonomian mereka, Jepang (214%), Italia (141%), Yunani (192%) dan Singapura (136%) memiliki utang pemerintah pusat yang lebih besar dibandingkan AS (110%) pada tahun 2022, menurut International Monetary Fund (IMF).
Defisit yang membengkak adalah penyebab utama krisis utang negara Eropa pada tahun 2010 yang hampir menenggelamkan euro, dan hal ini kembali menjadi masalah, terutama di Prancis dan Italia.
(bbn)