BLT El Nino, sambung Airlangga, akan diberikan selama 2 bulan. "Per bulan Rp 200.000 per KPM. Nanti Bu Menkeu akan menjelaskan," sebutnya.
BLT Era SBY
BLT kali ini memang bukan yang pertama. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pemerintah juga memberikan BLT sebagai kompensasi kenaikan harga BBM pada 2005 dan 2008.
Pada 2013, BLT berganti nama menjadi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang juga diberikan saat pemerintah menaikkan harga BBM.
Riset berjudul Qualitative Assessment: The Social Impacts of Cash Transfer Programmes in Indonesia karya Naomi Hossain, Simon Brook, Sabine Garbarino, Smita Notosusanto, Ida Ruwaida Noor, dan Fransisia Seda mencoba menggambarkan efektivitas dan penerimaan masyarakat terhadap program BLT pada periode 2005-2006.
Pada 2005, pemerintahan SBY menaikkan harga BBM rata-rata 29% pada Maret dan 114% pada Oktober. Sebagai kompensasi, BLT disalurkan kepada 19,1 juta Rumah Tangga Sasaran (RTS).
Besaran BLT kala itu adalah Rp 100.000/bulan yang diberikan sekali untuk 3 bulan. Tahap I pada dilangsungkan pada Oktober 2005. Kemudian tahap II berlangsung pada Januari-September 2006. Jadi BLT kala itu genap disalurkan selama 12 bulan.
“Program BLT menyita perhatian publik karena berbagai protes dan data yang tidak akurat. Beberapa protes berujung pada kekerasan sehingga mencoreng citra program ini secara keseluruhan,” sebut riset itu.
BLT, lanjut riset itu, memang bermanfaat untuk membantu rakyat miskin dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi harga kebutuhan pokok naik akibat kenaikan harga BBM.
Ini menjadi relevan dalam kondisi sekarang. El Nino yang menyebabkan kekeringan dan gagal panen membuat harga beras, kebutuhan pokok rakyat, kian mahal.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan rata-rata harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani naik 11,69% pada September dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Dibandingkan dengan September tahun lalu (year-on-year/yoy), harga melesat 26,7%.
Sedangkan harga Gabah Kering Giling (GKG) di tingkat petani naik 9,26% mtm dan 27,31% yoy.
Di level grosir, harga beras naik 6,29% mtm dan 21,02% yoy. Sementara di level eceran, harga beras naik 5,61% mtm dan 18,44% yoy.
“BLT menjadi bermanfaat karena digunakan bukan untuk investasi, tetapi membantu rakyat miskin ketika situasi sedang sulit,” tulis riset itu.
Akan tetapi, BLT juga dipandang berisiko menimbulkan friksi di masyarakat. Ada kecemburuan dari mereka yang tidak menerima, dan ini membuat mereka tidak percaya terhadap aparat negara.
“Dalam banyak kasus di mana BLT menciptakan ketidaknyamanan sosial, efeknya hanya sementara. BLT juga tidak sampai menimbulkan peningkatan tindak kejahatan, meski ada peningkatan adu mulut dan pelecehan verbal secara temporer,” lanjut riset itu.
Sementara kajian Bank Dunia menyebut BLT pada 2005-2006 cukup efektif dalam mendongkrak daya beli. BLT disebut menambah sekitar 15% konsumsi masyarakat pada 2005.
“BLT tidak hanya sangat membantu bagi rakyat miskin yang dihadapkan dengan lonjakan harga beras, tetapi juga bermanfaat bagi mereka yang hampir miskin (near-poor) terutama di perkotaan,” sebut kajian Bank Dunia.
Janji Kampanye
Menariknya, BLT juga diberikan di beberapa negara yang akan menghadapi Pemilu. Di Thailand, Perdana Menteri Srettha Thavisin menjanjikan BLT ketika masa kampanye.
Mengutip Bloomberg News, Thavisin menjanjikan BLT senilai THB 10.000 (Rp 43,87 juta) kepada 55 rakyat Thailand. Tujuannya adalah untuk meningkatkan konsumsi dan investasi domestik.
Namun, program ini mendapat banyak kritik. Sebanyak 81 ekonom membuat petisi menolak program BLT.
“Tidak ada uang yang tumbuh di pohon. Pada akhirnya, rakyat harus membayar dalam bentuk kenaikan tarif pajak atau inflasi yang tinggi,” tegas petisi tersebut.
Kejadian serupa terjadi di India, Pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi mempertimbangkan pemberian BLT senilai INR 8.000 (Rp 1,5 juta) kepada pata petani kecil. Pemilu India akan berlangsung pada April-Mei 2024.
Dengan sekitar 65% dari 1,4 miliar penduduk India tinggal di daerah pedesaan, petani merupakan kantung pemilih penting bagi Modi, yang ingin menjabat lagi dalam pemilihan mendatang.
Meskipun ia masih figur pemimpin yang populer, dengan 55% pemilih memandangnya sebagai positif, masalah seputar meningkatnya ketimpangan dan pengangguran dapat menjadi tantangan bagi Modi dalam Pemilu.
(aji/roy)