Sementara itu, untuk limbah dari smelter berbasis high pressure acid leaching (HPAL), Harita menggunakan teknik wet tailing di mana limbah dinetralisasi agar menjadi nonkorosif dan tidak beracun.
Dengan demikian, hasil netralisasi tersebut dapat disalurkan untuk proses backfill ke areal tambang nikel yang sudah selesai dieksploitasi.
Terkait dengan isu tenaga kerja di areal pertambangan nikel, Roy mengeklaim saat ini Harita masih berbasis padat karya dan menyerap pegawai dari kalangan warga lokal di Kabupaten Halmahera.
“Saat ini kurang lebih ada sekitar 30.000 orang bekerja di lokasi kami di Halmahera. Kami prioritaskan tenaga kerja lokal yang bisa kami didik untuk mengetahui teknologi dan bisa bekerja di tempat kami,” tuturnya.
Pemerintah sebelumnya menyebut episentrum industri nikel di Pulau Sulawesi telah berhasil mengerek nilai ekspor nonmigas Indonesia dari hanya US$2,1 miliar pada 2014 menjadi US$11,6 pada 2020, sebelum naik lagi menjadi US$22,21 miliar pada 2021, dan menyentuh US$33,8 miliar pada tahun lalu.
Walakin, praktik pertambangan nikel di Pulau Sulawesi acapkali mendapat kritik dari lembaga pemerhati lingkungan.
Sebelumnya, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) berjanji akan memacu investasi untuk mengatasi masalah lingkungan yang makin meningkat dari areal pertambangan nikel terbesar di Tanah Air itu.
Kawasan Industri Morowali mencakup areal seluas lebih dari 3.000 hektare di bagian timur Pulau Sulawesi. Wilayah ini merupakan basis produksi nikel baru yang digadang-gadang mendorong surplus pasokan di pasar global pada tahun ini. Namun, praktik pertambangan di kawasan itu menuai sorotan dari berbagai instansi internasional.
Direktur Pelaksana IMIP Hamid Mina sebelumnya mengatakan kepada Bloomberg bahwa perusahaan berencana menurunkan jejak karbon di kompleks Morowali melalui instalasi panel surya berkapasitas 500 megawatt.
Kawasan industri tersebut juga berencana menginvestasikan US$63 juta untuk tahap pertama pembangunan panel sebesar 100 megawatt, yang katanya akan mampu menghasilkan daya 180 juta kilowatt-jam per tahun. Itu setara dengan suplai listrik yang cukup untuk sekitar 166.000 orang Indonesia.
Kompleks ini juga memfasilitasi pembangunan pipa sepanjang sekitar 50 kilometer untuk memompa lumpur langsung dari tambang ke pabrik guna mengurangi penggunaan truk, kata Hamid. IMIP juga mempertimbangkan untuk memperkenalkan truk listrik di kawasan industri tersebut.
Chief Executive Officer Skarn Mark Fellows, bagaimanapun, mengatakan bahwa menerapkan energi terbarukan di Indonesia sangat ‘rumit’ karena sejumlah alasan seperti tutupan awan dan potensi angin yang rendah.
“[Selain itu,] emisi dari truk hanya menyumbang porsi yang sangat kecil dibandingkan dengan proses produksi nikel yang bergantung pada batu bara di tambang,” kata Fellows.
Dalam hal pengelolaan limbah, IMIP saat ini memiliki hampir 600 hektare lahan yang dikhususkan untuk dry-stacking; suatu metode pengolahan tailing atau hasil sampingan pertambangan, dengan cara mengeringkan, memadatkan, dan menimbunnya kembali.
Lebih banyak area dapat dialokasikan untuk itu jika rencana perluasan taman menjadi sekitar 6.000 hektare disetujui, kata Hamid.
Namun, implementasi dry-stacking cukup menantang di negara yang memiliki curah hujan tinggi dan aktivitas seismik reguler, menurut Harry Fisher dan Bruna Grossl dari Benchmark Mineral Intelligence.
(wdh)