Logo Bloomberg Technoz

Berat di Awal

Roy tidak menampik mandatori pembangunan smelter untuk penghiliran industri mineral logam pada awalnya dirasa berat oleh pelaku industri sektor pertambangan nikel, yang sudah terbiasa mengekspor dalam bentuk bijih mentah.

Pada saat bijih nikel akan dilarang ekspor sejak 1 Januari 2020, lanjutnya, Harita mencoba untuk membangun smelter feronikel pertama pada 2014, yang kemudian mulai beroperasi pada awal 2017. 

“Itu memang perjuangan. Namanya kami enggak pernah kan membangun smelter, terus tiba-tiba harus membangun smelter. Jadi ya banyak lah ‘berdarah-darah’ juga. Namun, kemudian kami bisa belajar banyak dari situ. Kami lihat ternyata setelah bisa produksi feronikel, kami bisa ekspor, dan memang nilai tambahnya cukup bagus waktu itu,” tuturnya.

Roy menyebut Harita lalu mulai membangun perusahaan patungan dengan Ningbo Lygend Mining untuk mendirikan proyek HPAL pertama di Indonesia pada 2018.

“Memang itu risikonya sangat besar juga, karena HPAL di dunia mungkin salah satu teknologi yang sangat challenging. Banyak proyek di dunia itu yang gagal dibandingkan dengan yang berhasil,” ujarnya.

Kapasitas double-line smelter HPAL tersebut dirancang untuk menghasilkan 37.000 metal ton per tahun. Dibutuhkan proses peningkatan ke kapasitas maksimal atau ramp up selama 2—3 bulan untuk mengoperasikan smelter tersebut.

“Dari situ kami melihat, ternyata HPAL ini bisa dilakukan di Indonesia dan kami memutuskan untuk menambah kapasitas dengan membangun satu line lagi, yang akhirnya berproduksi pada Januari 2023,” kata Roy.

Untuk smelter feronikel, Harita saat ini telah memiliki dua fasilitas yang sudah berproduksi dengan kapasitas maksimal. Kedua smelter feronikel eksisting milik perusahaan dilengkapi dengan 12 line produksi dengan output sekitar 120.000 metal ton per tahun.

“Kalau untuk yang HPAL ini 55.000 metal ton per tahun dan kami sudah berhasil membangun, memproduksi turunan dari MHP di HPAL ini. Kami mengonversi MHP menjadi nikel sulfat dan kobalt sulfat yang pertama di Indonesia dan kapasitas terpasang kami saat ini mungkin yang terbesar di dunia dengan output 240.000 ton per tahun,” ujar Roy.

Kompleks pengolahan nikel yang dioperasikan oleh Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara, Selasa (7/3/2023). (Dimas Ardian/Bloomberg)

Didukung Pemerintah

Lebih lanjut, Roy tidak menampik program penghiliran nikel yang digagas pemerintah pada awalnya memang memberatkan pelaku usaha. Mereka dipaksa untuk terjun ke industri baru, mempelajari teknologi baru, dan mengucurkan investasi dengan pengalaman minim sebelumnya.

“Kami mencoba dan kami menemukan partner yang tepat pada saat itu. Kemudian, kami juga otomatis belum punya pengalaman. Contoh HPAL ini, kami tahu bahwa ini risikonya besar. Jadi kami belajar dari proyek yang berhasil di Papua Nugini,” katanya.  

Pemerintah belum lama ini berjanji akan merealisasikan moratorium pembangunan smelter nikel kelas II baru, guna menjaga keseimbangan permintaan dan cadangan komoditas mineral logam itu di dalam negeri.

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif mengatakan pembatasan smelter nikel kelas II dibutuhkan agar RI tidak menjadi pengimpor bijih nikel akibat konsumsi nickel ore di dalam negeri yang terlalu jorjoran.

“Esensi moratorium ini ditujukan agar smelter yang sudah terbangun tetap mendapatkan pasokan bijih nikel untuk keberlanjutan operasi produksi,” ujarnya melalui pernyataan resmi, Kamis (19/10/2023).

Dia pun mengungkapkan Kementerian ESDM, berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, sepakat untuk tidak akan mengeluarkan lagi izin pembangunan smelter yang digunakan untuk proses pirometalurgi nikel kelas II.

Irwandy menegaskan pemerintah akan mengkaji secara holistik kebijakan larangan smelter baru, terutama untuk proses nikel yang ada di Indonesia, baik untuk limonite maupun saprolite.

Saat ini, kata Irwandy, terdapat 44 smelter yang mengolah nikel menjadi baja nirkarat malalui proses pirometalurgi. Adapun, proses hidrometalurgi ke arah baterai hanya diakomodasi oleh 3 smelter HPAL.

Konsumsi bijih nikel untuk pirometalurgi dengan saprolite adalah sebesar 210 juta ton per tahun dan limonite sebesar 23,5 juta ton per tahun, sambungnya.

Saat ini, terdapat 25 smelter yang sedang tahap konstruksi membutuhkan pasokan nikel sebanyak 75 juta ton per tahun. Sementara itu, untuk arah proses baterai hidrometalurgi ada 6 smelter yang sedang konstruksi dengan kebutuhan biji 34 juta ton per tahun.

Pada tahap perencanaan ke arah pirometalurgi, terdapat 28 smelter dan 10 smelter untuk hidrometalurgi dengan kebutuhan masing-masing 130 juta ton per tahun dan 54 juta ton per tahun.

 "Total, smelter yang ada sampai dengan saat ini, belum lagi yang terbaru itu ada 116 smelter yang terdiri dari 97 smelter pirometalurgi dan 19 smelter ke arah hidrometalurgi," ungkap Irwandy.

(wdh)

No more pages