Tren penguatan dolar AS masih menjadi momok bagi mata uang Asia, termasuk rupiah. Dalam sebulan terakhir, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan 6 mata uang utama dunia) menguat 0,21%. Selama 3 bulan ke belakang, kenaikannya mencapai 5,29%.
Rilis data terbaru di Negeri Paman Sam menjadi ‘obat kuat’ bagi dolar AS. S&P Global melaporkan, pembacaan awal (flash reading) terhadap aktivitas manufaktur di AS meningkat.
Flash reading untuk Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur AS periode Oktober ada di 51. Angka di atas 50 menandakan aktivitas manufaktur berada di zona ekspansi. Angka itu juga lebih tinggi dibandingkan September yang sebesar 50,2 dan menjadi yang tertinggi sejak Juli.
Data ini memberi kesan bahwa ekonomi AS tetap kuat, berdaya tahan, meski dibebani dengan kenaikan suku bunga acuan yang bertubi-tubi. Aktivitas ekonomi yang kuat mengindikasikan bahwa tekanan kenaikan harga alias inflasi masih akan persisten, masih ‘bandel’.
Oleh karena itu, kemungkinan bank sentral Federal Reserve masih akan melanjutkan kenaikan suku bunga pada tahun ini. Selepas itu, suku bunga akan bertahan tinggi dalam waktu lama (higher for longer).
“Fed kemungkinan masih akan menaikkan suku bunga acuan, karena ekonomi AS terlihat kuat,” ujar Tina Teng, Analis di CMC Markets, seperti dikutip dari Bloomberg News.
Transaksi Berjalan
Dari dalam negeri, sentimen negatif bagi rupiah datang dari transaksi berjalan (current account). Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan arus devisa dari ekspor-impor barang dan jasa.
Devisa dari pos ini lebih bertahan lama, berkesinambungan, dibandingkan yang datang dari investasi portofolio di sektor keuangan alias hot money. Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi penting bagi fundamental mata uang suatu negara.
Sebagai negara net-importir migas, transaksi berjalan Indonesia terancam defisit akibat kenaikan harga minyak dunia seiring konflik di Timur Tengah. Mulai Juni hingga September, harga minyak terus membukukan kenaikan secara bulanan. Harga si emas hitam naik 4 bulan beruntun.
Michael Setjoadi, Head of Institutional Equity, RHB Sekuritas, menyebut selama ini Bank Indonesia (BI) mencoba menahan pelemahan rupiah dengan intervensi di pasar. Akibatnya, cadangan devisa terus tergerus,
Per akhir September, cadangan devisa tercatat US$ 134,98 miliar. Ini adalah yang terendah sejak November tahun lalu.
“Cadangan devisa kita sudah makin turun dari data terakhir. Sampai kapan bisa intervensi?” tegas Michael.
(aji)