“Kalau bahan mentah itu, digali lalu langsung dijual. Namun, kenyataannya bijih tembaga itu kan tidak bisa dijual, tidak ada pasarnya. Jadi dilakukanlah proses penghiliran yang belum sampai pemurnian,” terang Tony.
Konsentrat tembaga sudah melalui proses peningkatan nilai tambah dari format bijih yang hanya memiliki kandungan 1% per ton menjadi 25% per ton. Harga jual konsentrat pun sudah mencapai 95% dari harga tembaga murni di London Metal Exchange (LME).
“Nah, jadi sebenarnya sudah terjadi peningkatan nilai tambah, sudah dilakukan hilirisasi. Namun, kan kemudian karena konsep perundang-undangan atau tafsiran dari perundang-undangan itu, jadi [muncul konsep bahwa yang namanya] hilirisasi itu adalah membangun smelter. Ya harus murni 100%,” tuturnya.
Akibat pergeseran paradigma tentang penghiliran mineral itu, lanjut Tony, perusahaan seperti Freeport Indonesia pun terpaksa harus mematuhi aturan dengan membuat proyek smelter baru yang kali ini didesain untuk memproduksi katoda tembaga.
Pada kenyataannya, smelter tersebut hanya memberikan nilai tambah sebesar 5% dari nilai tambah eksisting yang sudah ada dalam produk konsentrat tembaga. “Nilai tambahnya dari 95% ke 100% itu cuma 5%, padahal investasi [smelter]-nya luar biasa besar,” ucapnya.
Tidak Ekonomis
Tingginya biaya investasi smelter yang tidak sebanding dengan peningkatan nilai tambah dari konsentrat tembaga, bagaimanapun, diklaim tidak menyurutkan komitmen pengusaha untuk melanjutkan program penghiliran yang digaungkan pemerintah.
“Kalau dari segi nilai [ekonomis] enggak masuk, tetapi ini sudah menjadi komitmen. Jadi kami lanjutkan hilirisasi itu. Kalau dilihat dari [sejarah] Freeport Indonesia, sebenarnya pada 1996 kami sudah membangun smelter PT Smelting di Gresik, yang kemudian setelah 20 tahun beroperasi baru mulai bayar dividen,” jelas Tony.
Hanya saja, pada saat smelter tersebut mulai dibangun, harga komoditas tembaga masih sangat murah, dengan treatment charge and refining charge (TCRC) yang sangat tinggi.
Dia mencontohkan saat itu harga tembaga hanya 60 sen/pon, biaya TCRC-nya bisa 20 sen/pon. Saat ini, harga tembaga sudah sekitar US$3,5/pon, tetapi biaya TCRC-nya masih 20 sen.
Oversuplai Smelter
Dengan demikian, jika berkaca pada persentase jumlah smelter tembaga yang ada di dunia saat ini, investasi penghiliran yang hanya menitikberatkan pada pembangunan smelter dinilai Tony sudah tidak lagi menguntungkan lantaran dunia sudah kelebihan kapasitas smelter.
Di sisi lain, tidak ada penambahan atau pembukaan pertambangan tembaga baru di dunia dalam jangka panjang.
“China pada 2000-an itu membangun 200 smelter tembaga, Jepang cuma ada 5 smelter tembaga. Jadi bisa dilihat perbedaannya. Namun, intinya adalah kami lakukan terus [investasi smelter sesuai mau pemerintah]. Sudah kami lakukan dan kami akan lanjutkan,” tegas Tony.
Berdasarkan laporan keuangan kuartal III-2023 Freeport McMoRan Inc., pembangunan smelter Manyar PTFI dengan kapasitas pengolahan sekitar 1,7 juta metrik ton konsentrat tembaga untuk menjadi 600.000 ton katoda per tahun menelan biaya US$3 miliar.
Biaya tersebut mencakup US$2,8 miliar untuk kontrak konstruksi (tidak termasuk bunga yang dikapitalisasi, biaya pemilik, dan komisioning), dan US$0,2 miliar untuk investasi di pabrik peleburan.
Saat ini, progres smelter di kawasan JIIPE, Gresik, Jawa Timur itu diperkirakan sudah rampung 84%.
Sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia melaporkan realisasi investasi penghiliran industri sepanjang kuartal I—III tahun ini mencapai Rp266 triliun.
Capaian tersebut terdiri dari penghiliran di sektor mineral dalam bentuk fasilitas pemurnian atau smelter senilai Rp151,7 triliun.
Investasi smelter dari sektor pertambangan nikel sepanjang Januari—September 2023 disebutkan mencapai Rp97 triliun, sedangkan dari bauksit Rp7,1 triliun.
“Total realisasi [investasi] hilirisasi untuk triwulan III saja Rp114,6 triliun, cukup luar biasa. Dari mineral [dalam bentuk] smelter itu Rp64,7 triliun, terdiri dari smelter nikel Rp41,3 triliun, tembaga Rp19,8 triliun, dan bauksit Rp3,6 triliun. Dari sektor kehutanan, pulp and paper, Rp17,5 triliun,” ujar Bahlil, Jumat (20/10/2023).
Dia pun menargetkan 30% investasi di Indonesia bakal diasup dari proyek-proyek penghiliran industri, seperti smelter.
(wdh)