Sehingga, pengendalian entitas di Indonesia dilakukan melalui sejumlah kontrak kerjasama atau contractual agreement dalam grup.
"Jika didapati kontrak kami tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka pihak berwenang bisa secara leluasa menangani pelanggaran tersebut," tulis manajemen.
Penanganan yang bisa dilakukan salah satunya adalah, pencabutan izin usaha dan atau izin operasional entitas tersebut.
Struktur Pemegang Saham
Dugaan pelanggaran juga diperkuat dari struktur pemegang saham. Masih mengacu pada prospektus J&T Global Express dimiliki oleh sejumlah pemodal seperti Tencent. Meski IPO di Hong Kong, J&T Global Express beralamat di Cayman Islands.
J&T Global Express kemudian memiliki entitas usaha bernama Winner Star Holdings Limited. Winner Star adalah pemegang 99,9% saham PT Cahaya Global Berjaya, sedang sisa 0,1% dimiliki oleh Flying Jet Epress Limited.
Cahaya Global Berjaya kemudian mengadakan serangkaian perjanjian atau contractual agreement bersama PT Cakrawala Lintas Benua dan PT Sukses Indo Investama. Keduanya adalah pemegang saham Global Jet Express yang merupakan operator J&T di Indonesia (J&T Indonesia), dengan kepemilikan masing-masing 50%.
Perjanjian yang dilakukan berupa dukungan teknis dan bisnis, serta layanan konsultasi. Sebagai imbalannya, Cahaya Global akan mendapatkan sejumlah fee.
Praktisi Hukum Bisnis Frank Hutapea menjelaskan, J&T Global Express mengakui tidak memiliki satu saham pun di Indonesia. Padahal, anggaran dasar J&T Indonesia berstatus penanaman modal dalam negeri.
“Mohon ditanya ke kementerian terkait, apakah ini melanggar UU investasi karena nominee arrangement itu dilarang?," kata Frank.
Potensi Pelanggaran
Menelisik lebih dalam, dua pemegang saham J&T Indonesia, yakni Cakrawala Lintas Benua dan Sukses Indo Investama dimiliki oleh dua pihak bernama Robin Lo dan Effendy. Keduanya adalah warga negara Indonesia (WNI).
Berdasarkan data Ditjen AHU, Robin Lo dan Effendy memiliki masing-masing 50% saham Cakrawala Lintas Benua. Keduanya juga merupakan pemilik 50% saham Sukses Indo Investama.
Dengan struktur pemegang saham seperti itu, maka J&T Indonesia merupakan entitas usaha dengan penanaman modal dalam negeri (PMDN).
Sekarang pertanyaannya, di mana letak potensi pelanggaran yang dilakukan oleh J&T?
Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, J&T Global Express tidak memiliki saham di J&T Indonesia. J&T Indonesia sendiri adalah PMDN, yang mana ada sejumlah ketentuan yang mengatur PMDN, termasuk soal larangan praktek 'pinjam nama' atau nominee arrangement.
Larangan nominee arrangement itu tertuang dalam Pasal 33 Ayat 1 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Adapun bunyi Pasal 33 undang-undang itu secara lengkap adalah sebagai berikut.
- Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain.
- Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum.
- Dalam hal penanam modal yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja sama dengan Pemerintah melakukan kejahatan korporasi berupa tindak pidana perpajakan, penggelembungan biaya pemulihan, dan bentuk penggelembungan biaya lainnya untuk memperkecil keuntungan yang mengakibatkan kerugian negara berdasarkan temuan atau pemeriksaan oleh pihak pejabat yang berwenang dan telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pemerintah mengakhiri perjanjian atau kontrak kerja sama dengan penanam modal yang bersangkutan.
Alasan 'Pinjam Nama'
Dalam prospektus, manajemen J&T Global mengungkapkan alasan lebih memilih mengendalikan bisnisnya di Indonesia melalui contractual agreement ketimbang memiliki saham secara langsung di J&T Indonesia.
Itu ada kaitannya dengan aturan bisnis logistik di Indonesia yang pada intinya menyatakan bahwa, perusahaan logistik asing wajib membentuk joint venture (JV) dengan perusahaan logistik lokal jika menjalankan bisnisnya di Indonesia. Kepemilikan saham perusahaan logistik asing dalan JV itu pun dibatasi maksimal 49%.
Ketentuan yang bertujuan untuk melindungi industri logistik dalam negeri itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 mengenai Bidang Usaha Penanaman Modal.
Andai skenario kepemilikan maksimal 49% terpenuhi pun perusahaan logistik asing masih wajib mengikuti Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos.
Salah satu poin penting yang diatur dalam undang-undang ini adalah, wilayah operasi perusahaan logistik asing dibatasi hanya pada ibu kota provinsi yang telah memiliki pelabuhan udara dan/atau pelabuhan laut internasional.
Adapun bunyi lengkap pasal 12 Ayat 1 undang-undang Pos itu adalah sebagai berikut.
- Wajib bekerja sama dengan Penyelenggara Pos dalam negeri;
- Melalui usaha patungan dengan mayoritas saham dimiliki Penyelenggara Pos dalam negeri;
- Penyelenggara Pos dalam negeri yang akan bekerja sama sahamnya tidak boleh dimiliki oleh warga negara atau badan usaha asing yang berafiliasi dengan Penyelenggara Pos dalam negeri;
- Penyelenggara Pos asing dan afiliasinya hanya dapat bekerja sama dengan satu Penyelenggara Pos dalam negeri.
- Kerja sama Penyelenggara Pos asing dengan Penyelenggara Pos dalam negeri dibatasi wilayah operasinyapada ibukota provinsi yang telah memiliki pelabuhan udara dan/atau pelabuhan laut internasional.
Bloomberg Technoz telah menghubungi pihak J&T Indonesia dan pihak terkait lainnya. Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan dari pihak-pihak tersebut.
(dhf)